Minggu, 13 Juni 2021

Aku, Pasien Covid-19 yang Berjuang Melahirkan Anakku

 "Tidak ada kisah paling indah, kecuali di dalamnya ada pelajaran perihal sabar," kalimat ini kutanam dalam-dalam pada hati dan pikiranku. Sebab hanya dengan huznudzan pada Allah swt, hidup akan terasa tenang.

Sabtu, 12 Juni 2021 adalah hari yang membuatku seolah kehilangan separuh dunia. Sebab, hari itu aku harus rapid tes antibody untuk persiapan melahirkan. Hasil rapid tes dinyatakan reaktif, dan dilanjutkan swab PCR. Sampai ba'da maghrib, ibuku ditelfon pihak puskesmas, bawasannya aku positif Covid-19 dengan kategori OTG. Sehingga harus dirujuk di rumah sakit dan diwajibkan untuk caesar. Seketika aku lemah, aku menangis sambil istighfar. Pikiranku kacau. Sempat bergumam, "kenapa harus ada Covid-19?"

Hampir setengah jam aku kalut dalam kecewa. Kemudian aku mencoba menenangkan hati, menarik napas panjang, dan kembali menata pikiranku. Banyak orang-orang sekelilingku memberi semangat, tak terkecuali suamiku. Meski enggan bicara, tapi aku tahu, dalam hatinya cintanya begitu dalam pada anak kami yang telah kami nantikan kehadirannya dua tahun ini. Perlahan aku mulai bangkit, aku mulai mengafirmasi pikiranku untuk kuat. Sebab aku akan menjadi ibu, bukankah ibu adalah pemimpin perang jihadnya untuk menyelamatkan buah hati? Jika aku lemah dalam memimpin, banyak kemungkinan pasti terjadi. Tetapi jika aku kuat, In Syaa Allah banyak kuasa Allah swt dialirkan pada jalan jihadku.

Pukul 21.15 aku dijemput ambulance puskesmas untuk dibawa ke rumah sakit. Suamiku, ibu dan ayahku mengikuti dari belakang dengan mengendarai motor. Sesampainya di sana, aku masuk ruang tenda terlebih dahulu, untuk ganti baju oprasi, pemasangan infus, dan cek kesehatan serta kesiapan. Baru setelah pukul 00.00, aku diizinkan masuk ke ruang oprasi. Pengantar hany boleh menunggu di luar dan di dalam tenda Covid-19, tidak bisa masuk area rumah sakit.

Bagaimana rasanya caesar? Mungkin itu yang pertama kali dipikirkan kebanyakan orang jika mengalami kisah sepertiku. Tapi aku tidak, aku terlanjur pasrah dengan ketentuan Allah, dan menganggap ini bagian dari perjuanganku untuk generasi Qur'aniku. Dokter dan perawat pun menyiapkan segala keperluan caesar, termasuk obat bius yang akan mendarat pada tubuhku agar tidak merasakan sakit saat persalinan caesar dimulai.

Sepanjang persalinan, aku harus mengatur napas. Perawat sudah was-was jika tiba-tiba asmaku kambuh di tengah perjalanan persalinan. Alhamdulillah tidak sama sekali, aku sehat. Sepanjang tarikan napasku, kuembuskan lafadz Allah dengan senyuman kecil di bibirku. Dengan harapan, anakku bisa merasakan bahwa aku sangat mencintainya. Tapi tiba-tiba, aku seperti mengantuk, dalam hitungan detik saja kemudian lafadzku berubah Alhamdulillah. Aku bingung, kenapa begitu. Ingin kuubah menjadi Allah lagi, tetap kembali pada Alhamdulillah. Kemudian dokter dan perawat menyampaikan bahwa anakku telah lahir dengan sehat.

Namun, aku tak dapat melihat anakku, bahkan mendengar tangisnya aku tak bisa. Kami langsung dipisahkan untuk saling melindungi. Sungguh ini berat memang, tapi ini salah satu cara Allah mendidikku dan anakku menjadi insan yang menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong kami. Lebih dari itu, Allah benar-benar mengujiku, menanyakan padaku seberapa ingin derajatku diangkat dalam keimananku terhadap-Nya. Sebab, setelah Allah beri dua tahun terindah untuk menantikan buah hati, kini Allah menunda pertemuan kami sampai selesainya masa isolasiku.

Bibirku hanya deras kalimat Alhamdulillah setelahnya. Alhamdulillah karena anakku lahir sehat dan berjenis kelamin perempuan. Alhamdulillah anakku lahir caesar dengan lancar. Alhamdulillah anakku memiliki berat badan dan tinggi badan yang sesuai aturan. Alhamdulillah anakku lahir pada tanggal yang tepat, 13 Juni 2021. Tepat, karena setiap 13 Juni selalu diperingati sebagai hari bersejarah umat Islam. Karena pada tanggal ini, umat Islam kala itu mampu menakhlukan Andalusia di bawah kepemimpinan Thariq bin Ziyad. Alhamdulillah. Semoga kelak anakku mampu meneruskan perjuangan para mujahid mujahidah sebelum kami.

Hal lain yang lebih membuat orang selalu bertanya-tanya, yakni bagaimana kolostrum didapatkan? Hmm, memang gizi terbaik anak setelah lahir adalah kolostrum pertama dari ASI. Tapi, apa boleh buat, keadaan mengharuskan anakku untuk minum susu formula lebih dulu. Alhamdulillahnya, ASI ku juga belum keluar. Bisa jadi Allah akan mengeluarkan ketika alat-alat sudah komplit. Sebab, setelah berkonsultasi dengan perawat jaga bayi, aku diperbolehkan memberi ASI untuk anakku dari hasil pompa ASI-ku. Hanya saja, hasil pompa ASI nantinya harus masuk ke dalam botol, kemudian di sterilkan menggunakan alat. Alhandulillah, dengan cepat suamiku memesan alat untuk menyeterilkan ASI, sementara perempuan hebat di ibukota sana mengirimkan paket pompa ASI. Masya Allah, Tabarakallah, banyak yang sayang sama anakku. Aku benar-benar terharu, dan semakin percaya, bahwa Allah selalu menitipkan senyum atas semua sabar yang dilalui hamba-Nya.

Ke depan, aku tidak peduli, ketika orang-orang menyalahkan kenapa aku terpapar Covid-19. Karena kita tak pernah tahu, kapan diberi nikmat sehat dan sakit. Jika sehat berarti harus kuat, jika sakit berarti harus ikhlas, agar dosa-dosa lampau berguguran. Aku tidak peduli ketika orang-orang menanyakan kenapa susu formula, tidak mencari donor ASI. Karena untuk menjaga semuanya, sebab barangkali ada yang siap mendonorkan, tapi apakah kita bisa memastikan bahwa si pendonor bebas Covid-19 atau penyakit lain? Sementara banyak penderita Covid-19 yang berstatus sebagai OTG, termasuk aku. Semua bentuk pertanyaan maupun pernyataan yang tidak sesuai dengan pengalaman hidup si penanya pasti akan selalu mampir, tapi hanya seorang ibu dari anak tersebutlah yang paling memahami kondisi mana yang harus ia pilih.

Hmm, mungkin sebatas ini dulu ceritaku. Sebagai awalan untuk membagikan pentingnya sabar kepada para pembaca. Lain waktu, aku akan menuliskan kisah-kisah selanjutnya yang masih berkaitan dengan melahirkan di tengah pandemi Covid-19. Sebelum usai, kubisikkan pada kalian nama anakku. Aku dan suamiku memberi nama, "Rahyang Khawla ZenHuri Asfa," yang bermakna, "Perempuan surga yang kuat dalam beragama, welas asih dalam bersikap, pemberani dalam berdakwah, dan selalu dalam keadaan suci." Aamiin. Doakan kami, agar Allah selalu memberi kami kesehatan dan kejutan-kejutan baik untuk menetapkan kami pada keimanan yang kuat. Terimakasih :)


Minggu, 06 Juni 2021

Tentang Menikah

Menikah tidak cukup dengan kata, "saya terima nikahnya," lalu kemudian di-sah-kan para saksi. Tapi lebih dari itu.

Tulisan ini berangkat dari kisah para orang-orang sekitar yang kerap menanyakan pada saya, kira-kira si penanya kalau menikah bagaimana. Setiap kali pertanyaan ini hadir, rasanya saya ingin tertawa, tapi itu pasti menyakitkan. Hanya saja terkesan lucu, jika si ingin menikah menanyakan sudah pantas belum untuk menikah. Karena bagi saya, menikah adalah pilihan dan hak masing-masing orang. Yang tahu mampu tidaknya juga setiap orang kan? Jadi, mohon berpikirlah yang matang untuk menikah.

Menikah bukan soal diburu waktu, bukan karena dipaksa orang lain, bukan demi balas budi, bukan untuk mengikuti trend nikah muda, atau hal lainnya. Menikah sangat-sangat lebih dari ini. Sebab jika dalam menikah tidak ada persiapan yang matang, bisa jadi setiap kisah dalam pernikahan tidak bisa dibedakan antara konsumsi publik dan pribadi.

Pada momen kali ini, saya akan berbagi cerita, kenapa saya memutuskan menikah dan enggan menyuruh orang lain untuk segera menikah. Atau sekadar bertanya, "kapan kamu nikah?" Ini adalah hal tabu yang mulai membudaya di masyarakat menurut saya. Namun sayangnya tak banyak masyarakat yang memahami, sehingga sering banyak rasa tersinggung lahir dari pertanyaan kapan menikah.

Kalau saya, jujur punya target menikah usia 26 tahun. Karena dulu saya membayangkan setelah lulus S1, saya bisa melanjutkan S2 di negeri dua benua. Saya sudah ikut kursus bahasa, yang itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Sebab setiap pulang sekolah, saya haru menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit untuk sampai ke tempat kursus bahasa. Saya juga telah menyiapkan semua berkas-berkas yang harus saya lampirkan untuk mendapatkan beasiswa S2. Qodarullah, H-7 sebelum pembukaan beasiswa, ada lelaki yang meminta saya kepada orangtua untuk dijadikan teman hidupnya. Lantas apakah saya langsung sholat istikhoroh untuk menentukan pilihan? Tidak. Sebab selama saya hidup, saya selalu percaya bahwa apa yang saya jalani berdasar ketetapan Allah, itu yang terbaik untuk saya. Hingga akhirnya saya menikah di usia 23 tahun, dan mengurungkan niat untuk melanjutkan S2 di negeri dua benua.

Lantas apakah dalam menikah itu adalah keindahan? Bagi saya tidak, menurut realitasnya. Tapi bagi degup batin, adalah keindahan. Sebab, dalam menikah berisikan ibadah yang tak pernah usai. Dan ibadah akan bernilai indah ketika hari demi hari kita menjalani dengan syukur dan ikhlas. Apapun kisahnya, apapun rintangannya, apapun bahagianya. Setiap rumah tangga memiliki kisahnya masing-masing.

Tetapi, persoalan menikah yang paling mendasar adalah menyiapkan mental dan rohani. Karena jika mental tanpa rohani akan layu, sedang rohani tanpa mental akan lemah. Bayangkan saja, jika mental kita kuat hidup dengan mandiri, tapi tidak punya rohani, bisa dipastikan ketika bertengkar dengan suami, kita merasa bahwa kita masih sanggup hidup mandiri tanpa suami. Begitu pula jika rohani kita kuat, menerima apapun aturan suami, lama kelamaan mental kita yang akan menjadi penyakit karena diberi paket-paket luka. Hal ini disebabkan manusia satu dengan lainnya berbeda, tidak bisa dipaksa dalam satu aturan, melainkan diajarkan saling melengkapi.

Ingat, menikah adalah menyelaraskan dua kepala dan menyatukan dua keluarga. Akan banyak perbedaan, akan banyak pro dan kontra. Jika masih ada rasa egois, niscaya dalam rumah tangga akan damai, karena isinya pasti ingin menangnya masing-masing. 

Jadi, untuk yang sedang bertanya sudah layakkah menikah, mohon duduk sebentar. Kemudian tarik napas panjang, dan pikirkalah, sudahkah menjadi pribadi yang semeleh atau belum. Semeleh adalah pribadi yang tidak mudah meluapkan amarah, mampu mengendalikan kisah hidup dan mampun memperbanyak syukur serta istighfar untuk menjadikan keluarga yang benar-benar tuntas menjalankan ibadah setiap harinya.

Dan ibadah itu mudah, ketika kita berusaha mengenal Allah lebih dekat, dan mengenal firmannya yang akan menjadi obat bagi ibadah kita jika sewaktu-waktu hampir tak terjamah. Pahamilah, menikah bukan soal siapa yang tercepat, tapi siapa yang telah diberi kesiapan secara mental dan rohani. Jadi, menikahlah menurut pikiran dan hati masing-masing, bukan menutut pandangan orang lain.