Minggu, 06 Juni 2021

Tentang Menikah

Menikah tidak cukup dengan kata, "saya terima nikahnya," lalu kemudian di-sah-kan para saksi. Tapi lebih dari itu.

Tulisan ini berangkat dari kisah para orang-orang sekitar yang kerap menanyakan pada saya, kira-kira si penanya kalau menikah bagaimana. Setiap kali pertanyaan ini hadir, rasanya saya ingin tertawa, tapi itu pasti menyakitkan. Hanya saja terkesan lucu, jika si ingin menikah menanyakan sudah pantas belum untuk menikah. Karena bagi saya, menikah adalah pilihan dan hak masing-masing orang. Yang tahu mampu tidaknya juga setiap orang kan? Jadi, mohon berpikirlah yang matang untuk menikah.

Menikah bukan soal diburu waktu, bukan karena dipaksa orang lain, bukan demi balas budi, bukan untuk mengikuti trend nikah muda, atau hal lainnya. Menikah sangat-sangat lebih dari ini. Sebab jika dalam menikah tidak ada persiapan yang matang, bisa jadi setiap kisah dalam pernikahan tidak bisa dibedakan antara konsumsi publik dan pribadi.

Pada momen kali ini, saya akan berbagi cerita, kenapa saya memutuskan menikah dan enggan menyuruh orang lain untuk segera menikah. Atau sekadar bertanya, "kapan kamu nikah?" Ini adalah hal tabu yang mulai membudaya di masyarakat menurut saya. Namun sayangnya tak banyak masyarakat yang memahami, sehingga sering banyak rasa tersinggung lahir dari pertanyaan kapan menikah.

Kalau saya, jujur punya target menikah usia 26 tahun. Karena dulu saya membayangkan setelah lulus S1, saya bisa melanjutkan S2 di negeri dua benua. Saya sudah ikut kursus bahasa, yang itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Sebab setiap pulang sekolah, saya haru menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit untuk sampai ke tempat kursus bahasa. Saya juga telah menyiapkan semua berkas-berkas yang harus saya lampirkan untuk mendapatkan beasiswa S2. Qodarullah, H-7 sebelum pembukaan beasiswa, ada lelaki yang meminta saya kepada orangtua untuk dijadikan teman hidupnya. Lantas apakah saya langsung sholat istikhoroh untuk menentukan pilihan? Tidak. Sebab selama saya hidup, saya selalu percaya bahwa apa yang saya jalani berdasar ketetapan Allah, itu yang terbaik untuk saya. Hingga akhirnya saya menikah di usia 23 tahun, dan mengurungkan niat untuk melanjutkan S2 di negeri dua benua.

Lantas apakah dalam menikah itu adalah keindahan? Bagi saya tidak, menurut realitasnya. Tapi bagi degup batin, adalah keindahan. Sebab, dalam menikah berisikan ibadah yang tak pernah usai. Dan ibadah akan bernilai indah ketika hari demi hari kita menjalani dengan syukur dan ikhlas. Apapun kisahnya, apapun rintangannya, apapun bahagianya. Setiap rumah tangga memiliki kisahnya masing-masing.

Tetapi, persoalan menikah yang paling mendasar adalah menyiapkan mental dan rohani. Karena jika mental tanpa rohani akan layu, sedang rohani tanpa mental akan lemah. Bayangkan saja, jika mental kita kuat hidup dengan mandiri, tapi tidak punya rohani, bisa dipastikan ketika bertengkar dengan suami, kita merasa bahwa kita masih sanggup hidup mandiri tanpa suami. Begitu pula jika rohani kita kuat, menerima apapun aturan suami, lama kelamaan mental kita yang akan menjadi penyakit karena diberi paket-paket luka. Hal ini disebabkan manusia satu dengan lainnya berbeda, tidak bisa dipaksa dalam satu aturan, melainkan diajarkan saling melengkapi.

Ingat, menikah adalah menyelaraskan dua kepala dan menyatukan dua keluarga. Akan banyak perbedaan, akan banyak pro dan kontra. Jika masih ada rasa egois, niscaya dalam rumah tangga akan damai, karena isinya pasti ingin menangnya masing-masing. 

Jadi, untuk yang sedang bertanya sudah layakkah menikah, mohon duduk sebentar. Kemudian tarik napas panjang, dan pikirkalah, sudahkah menjadi pribadi yang semeleh atau belum. Semeleh adalah pribadi yang tidak mudah meluapkan amarah, mampu mengendalikan kisah hidup dan mampun memperbanyak syukur serta istighfar untuk menjadikan keluarga yang benar-benar tuntas menjalankan ibadah setiap harinya.

Dan ibadah itu mudah, ketika kita berusaha mengenal Allah lebih dekat, dan mengenal firmannya yang akan menjadi obat bagi ibadah kita jika sewaktu-waktu hampir tak terjamah. Pahamilah, menikah bukan soal siapa yang tercepat, tapi siapa yang telah diberi kesiapan secara mental dan rohani. Jadi, menikahlah menurut pikiran dan hati masing-masing, bukan menutut pandangan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar