Sabtu, 31 Mei 2025

Dzikir Masakanmu Adalah Kenangan

Titik akhir sebuah pertemuan adalah perpisahan. Begitu pikiran setiap manusia. Namun, aku ingin mengganti titik akhir tersebut dengan kenangan. Sebab perpisahan selalu bicara tentang ketidakjumpaan lagi, sementara kenangan bicara tentang bagaimana kita menyimpan pertemuan untuk tetap abadi di hati meski perjalanannya telah berbeda.

Ini tentang pertemuanku dengan perempuan yang pandai berdzikir. Dzikir dengan wajan, sotil, panci, kompor gas, dan peralatan masak lainnya. Beliau adalah Ibu Supriyani, aku biasa menyapanya Bu Supri, karyawan SMP Muhammadiyah 1 Prambanan yang bekerja sebagai ibu dapur.

Mengapa aku menyebutnya pandai berdzikir? Ya, sebab setiap hari beliau memasak nasi beserta lauk pauknya untuk para guru dan karyawan di Musapra. Masakannya masakan rumahan yang setiap hari selalu kuhabiskan.

Pernah kedua kali saat memberikan makan siangku beliau berkata, "Bu, ini makan siangnya nggih. Dimakan bu, kemarin nggak dimakan kan?" Tampak raut wajahnya sedikit kecewa. 

Aku langsung tersenyum, dan menjawab, "Saya nggak tahu bu kalau dapat makan siang di sini. Jadi, kemarin saya terlanjur makan siang lebih dulu. Tapi, waktu sore saya makan di rumah kok bu. Yang sekarang saya makan langsung ini, Bu. Jadi, tenang saja, Bu, tidak akan mubadzir." Beliau pun tersenyum dengan tulus.

Sejak saat itulah, aku lebih sering makan siang di sekolah dari hasil masakannya. Bukan tentang sebatas rasa menghargai. Tapi jauh dalam hatiku, aku membatin bahwa ketika beliau memasak, yang dipikirkan pasti bagaimana masakannya lezat dan diterima oleh para pegawai. Dan itu adalah bagian dari dzikirnya.

Sebab dzikir bermakna mengingat Allah, dan mengingat Allah bisa dilakukan dengan suatu pekerjaan. Seperti Bu Supri, alat masak dan api adalah takbirnya. Takbir sebelum memulai sebuah perjuangan menghasilkan masakan. Hasil masakannya adalah tasbihnya, dimana beliau merasa takjub dengan karunia Allah yang membimbingnya menghasilkan suatu karya. Dan menghidangkan makanan adalah tahmidnya, bersyukur sudah menuntaskan segala tugasnya. Yang terkahir, membereskan seluruh peralatan masak adalah tahlilnya, yakin bahwa pekerjaan yang ditekuni sebagai pilihan Allah yang terbaik.

Dan kini, dzikir-dzikir masakan Bu Supri akan menjadi kenangan setelah sore tadi Ibu Kepala Sekolah berkabar bahwa beliau dipanggil Allah. Tanpa ada sakit, semua tiba-tiba dan dimudahkan. Inna lillahi wa inna illaihi raji'un.

Teringat Rabu kemarin, aku dan rekan-rekanku termasuk beliau, kami bersepuluh diundang PCA Prambanan untuk mengikuti kegiatan keliling Museum Muhammadiyah dan nonton bareng film Nyai Ahmad Dahlan. 

Kami sempat hampir duduk di baris yang sama dalam sebuah bis. Bahkan beliau masih sempat menanyakan Niskala di mana, kenapa tidak diajak. Aku menjelaskan bahwa Niskala bersama ayahnya. Namun beliau malah menjawab, "waduh ra ketemu kula malih benjang," (waduh tidak bertemu saya lagi besok). 

Aku memilih abai dengan ucapan tersebut. Ditambah saat dalam museum, beliau sempat menanyakan kenapa aku menyukai sejarah. Aku menjelaskan bahwa aku memang suka mengenang kisah lampau, namun sambil kuiringi dengan kekehan. Sementara Bu Supri berucap, "berarti saya nanti juga diingat terus ya bu?" Kemudian aku mengangguk dan menjawab, "Pasti bu, siapapun teman baik saya, akan saya ingat."

Rupanya percakapan kecil kami adalah isyarat perpisahan dari Bu Supri sebelum akhirnya beliau dipilih Allah untuk lebih dulu didekap-Nya.

Walau pertemuan kami singkat, Bu Supri dan masakannya adalah berkenang. Nanti kalau Niskala besar, aku akan menyampaikan padanya bahwa Bu Supri juga turut membantu melancarkan ASI ibunya saat menyusuinya. Sebab setiap makan siang, selalu makan masakan Bu Supri dan tim lainnya.

Sampai jumpa dan semoga mudah jalanmu menuju-Nya adalah kata yang sanggup kuucapkan atas kepergianmu ~




Tidak ada komentar:

Posting Komentar