Foto saya bersama para pendidik lain saat menemani peserta didik lomba MTQ tingkat Kelurahan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan
kepadamu, “berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah,
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan,
“berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat ( derajat )
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti terhadap
apa yang kamu kerjakan.” ( QS. Al-Mujadilah : 11 )
Mengutip ayat al-Qur’an di atas,
sebenarnya secara tidak langsung menyimpan perenungan bagi para penuntut ilmu.
Terlebih untuk mahasiswa PAI, ayat ini seharusnya mampu memberi kesan dan
pesan, bagaimana Allah mencintai orang yang menuntut ilmu. Apalagi perannya
nanti menjadi pendidik, di mana pembelajarannya memuat peningkatan akhlaq dalam
proses pendidikan. Tentu barang pasti kajian persoalan ilmu tidak bisa lepas
begitu saja. Sebab kata pepatah, agama tanpa ilmu adalah buta, sementara ilmu
tanpa agama itu tuli.
Demi menggambarkan tema di atas,
saya akan memulainya dengan beberapa pertanyaan. Bagaimana orang berilmu
menerapkan ilmunya? Bagaimana orang berilmu membagi ilmunya dalam masyarakat? Bagaimana
penyampaian ilmu tersebut, tepat sasaran atau tidak? Dan mungkin masih ada
pertanyaan bagaimana-bagaimana lainnya.
Berhubung tema ini lebih terkhusus
membicarakan mahasiswa Pendidikan Agama Islam ( PAI ), harapannya akhir dari
tulisan ini mampu memberi pesan bagi calon pendidik agama Islam. Bahwasannya,
dalam diri nantinya berusaha mengembangkan pendidikan lebih mengarah pada
akhlaq mulia. Sehingga mampu meminimalisir karakter anak yang kurang
mencerminkan diri sebagai peserta didik.
Kembali pada tema, pendidikan
Indonesia sesuai pernyataan Ki Hajar Dewantoro, adalah bertujuan membentuk
manusia yang merdeka lahir dan batin. Hal ini menjadi penekanan mahasiswa
pendidik agama Islam yang ilmunya memuat lahir dan batin. Karena mengarungi
kehidupan dunia juga mencari bekal kehidupan akhirat. Jika hal ini dilalaikan,
maka proses pendidikan keagamaan tentulah seperti yang sudah-sudah, dalam
artian tidak ada pembaharuan. Dan jika hal tersebut berkelanjutan, kita patut
waspada dengan hasil mengenai pendidikan agama peserta didik. Mampu menjadikan
berkhlaq karimah atau malah mazmumah? Point ini adalah yang menjadi topik
pendting dibicarakan, bagaimana mahasiswa PAI sebagai calon pendidik mampu
menciptakan pendidikan berakhlaq.
Terlebih
era sekarang, pemerintah sedang gencar menaikkan penghargaan kepada para
pendidik, baik guru maupun dosen. Tetapi, tak jarang hal ini dimanfaatkan pendidik
secara tidak baik. Semisal menyuruh orang lain untuk menyelesaikan instrumen
yang harus dikumpul pada pihak pengawas, contohnya RPP. Padahal lebih dari itu,
sebagai pendidik harus memiliki jiwa yang tidak sekadar mendidik. Melainkan
merefleksikan kata mendidik adalah suatu kewajiban, datangnya dari jiwa, dan
memiliki muatan-muatan, baik input – proses – output. Dimana pendidik tanamkan
dalam diri, bukan atas dasar keterpaksaan.
Selain pemaparan di atas, saya
hendak menekankan, pendidikan berakhlaq tentunya tercermin dari pendidik yang
mengadobsi akhlaq pribadi dirinya dengan baik. Sebab dalam filosofi Jawa,
pendidik atau biasa disebut guru adalah kependekan kata dari digugu ditiru. Dimana
kata digugu bermakna agar peserta didika mendengarkan perintahnya, sementara
ditiru adalah peserta didik meniru tingkah laku pendidiknya. Sehingga sangat
jelas, pendidik dengan segala kemampuannya bisa menjadikan peserta didik itu
bermacam-macam, tergantung dari sisi mana ia mengajarkan.
Tulisan yang singkat ini mungkin
membosankan bagi para manusia pembenci kata membaca. Tetapi initinya mahasiswa
PAI, calon pendidik dengan kejelasan kewajiban untuk mengantarkan peserta didik
berwawasan ilmu dan berakhlaq karimah. Sementara yang bukan mahasiswa PAI,
pendidik itu diciptakan, dan penciptanya adalah kita sendiri. Karena mendidik
adalah proses membagi ilmu dari diri pada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar