"Seperti daun, para manusia tumbuh, menghijau lalu gugur. Seperti itulah, setiap perjuangan memiliki titik pulangnya masing-masing."
Ada yang getir memikirkan nasib yang terus digerus usia, menerka-nerka bagaimana langkah memberi sumbangsih terindah dalam kehidupan. Termasuk aku. Tetapi, getir itu pudar seiring bertemunya aku dengan saudara Generasi Bakti Negeri. Kamilah, salah satu tangan Tuhan yang ingin memberi harapan bagi anak negeri, bahwa mimpi adalah tempat berpijak untuk tetap hidup dan menjadi inspirator bagi diri yang kadang lelah. Kami memiliki tubuh berjumlah 40, kami memiliki tujuan membangun negeri, dan kami memiliki hal yang menjadi ciri khas bahwa tubuh kami layak disebut pengabdi.
Baiklah, akan kuawali cerita kami dengan awal kata, "SEBATIK." Kata tersebut adalah nama salah satu pulau yang ada di Indonesia, pulau di perbatasan utara wilayah Kalimantan Utara. Pulau dengan dua kepemilikan negara, Indonesia dan Malaysia, sekaligus pulau yang menjadi tempat pilihan kami mengabdikan diri untuk berbagi ilmu bersama masyarakat perbatasan. Kata kedua, "MENGABDI." Sebuah kata yang secara nalurinya dapat diartikan bahwa kami hendak menjadi abdi, menjadi pelayan bagi masyarakat, pelayan yang akan membawa masyarakat lebih memiliki pintu untuk memasuki lorong keindahan hidup. Sementara kata ketiga, "LILLAH." Kata yang diambil dalam bahasa Arab, memiliki arti karena Allah. Sebab jika bicara lelahnya kami mengabdi, itu sungguh lelah. Kami jauh-jauh dari Yogyakarta, kami dididik oleh amal usaha Muhammadiyah, lalu kami dilepas jauh ke Sebatik untuk menjadi anak panah Muhammadiyah. Ya, anak panah yang siap memberikan tikaman kebermanfaatan dalam mewujudkan masyarakat bangsa menuju masyarakat madani. Tetapi kami harus siap dan yakin, mengubah semua lelah kami menjadi keikhlasan.
Perjalanan kami dimulai di kampus muda mendunia, kami dididik, kami dibentuk, dan kami diseleksi kemampuan dalam mengabdi. Pernyataan lulusnya kami menjadi 40 prajurit bukan hal yang menyenangkan, melainkan hal yang menambah amanah dalam pundak kami. Banyak hal yang kami persiapkan untuk menuju medan pengabdian, dari penggalangan dana, membangun mitra kerja dengan masyarakat sekitar kampus untuk menjadi pusat percobaan kegiatan pengabdian, sampai ke pelatihan-pelatihan untuk memanajemen kepemimpinan dan kapabilitas kami sebagai pengabdi. Hingga akhirnya, kami dipertemukan dengan getaran yang akan mengantar kami menuju Sebatik. Kami benar-benar multi memantapkan hati sejak saat itu.
"Kalian sudah siap mengabdi?" tegas Brama, ketua Generasi Bakti Negeri Saudara Sebatik Project 3, ketika kami sampai di Sebatik dan mengadakan musyawarah program kerja yang harus dijalankan untuk tiga wilayah kelurahan.
"Kami siap!" jawab seluruh anggota.
"Kalau begitu, jadilah pemuda yang tangguh! Karena kalian di sini mampu menjadi prajurit, meski tanpa sekolah prajurit. Dan kalian harus berkontribusi untuk program pengandian kalian," sahut Jauhari, salah seorang anggota yang diamanahi sebagai ketua kelompok salah satu kelurahan.
"Kita harus siap dipecah menjadi tiga, dan kita harus terus berkoordinasi," lanjut Brama.
"Siap!" semua kembali menjawab dengan serempak.
Sejak intruksi tersebut, kami mulai menjadi hari pertama sampai hari kelimapuluh mengabdi untuk masyarakat Sebatik. Segala pelajaran hidup telah kami dapatkan. Sementara aku, hanyalah sebagian tubuh 40 prajurit penantang tapal batas yang merangkum kisah dalam tulisan, mengabadikannya dalam beberapa media, sebab aku ingin mengajarkan pada pemuda lain, bahwa hidup adalah tentang berbagi dan berperilaku baik.
Teruntuk kita, 40 Prajurit Penantang Tapal Batas, biar kutulis puisi sebagai penjaga bahwa kita pernah melewati masa-masa sulit yang mengantarkan kita pada cahaya.
40 Prajurit Penantang Tapal Batas
Mikail datang ; tubuh kita usaikan mengabdi
Anak-anak hujan berhamburan di ujung-ujung jalan
Sungai Limau, Bukit Harapan, Maspul, pecah segala yang tertahan
Meneguk rindu yang mulai berdiam
Detik malih menit, menit menjelma jam, dan jam menemui hari
Arak-arakan kenang memilih kita sebagai gua pertapaan
Tentang perjuangan dan medan yang memaksa kita berperang
Sebelum peluru mengambil bagian darah Indonesia
Selanjutnya, kita adalah panah yang berhamburan
Sebab bersama mengajarkan kokoh lalu terpisah
Kita memiliki langkah masing-masing
Menjadi pengabdi bagi tanah yang terpijak
Pulanglah, rapikan kembali debar ikhlasmu
Pulanglah, tekunkan kembali nadi ibadahmu
Pulanglah, pikirkan kembali langkah lanjutmu
Pulanglah, teguhkan kembali detak abdimu
Prambanan, 1 Maret 2018.
Rabu, 28 Februari 2018
Senin, 26 Februari 2018
Sekotak Rahmat Dari XII IPA 2
Ayat-ayat al-Quran bergema dari detik ke detik, mengalun dari bibir siswa siswi SMA Muhammadiyah 1 Prambanan. Seketika jalanan ruang kelas XII serupa lorong-lorong bagi para penghafal al-Quran. Satu per satu ayat mereka hafalkan, saling menyimak satu sama lain, dan saling memberi kekuatan jika salah seorang hendak menyetorkan hafalan.
"Bu, kenapa harus 15 surat hafalannya? Kenapa tidak 10? Bukankah itu memberatkan murid?" tiba-tiba salah seorang murid bertanya padaku sambil menunjukkan ekspresi paling berharap. Aku hanya tersenyum, dan kulanjutkan kembali memanggil para penghafal sesuai urutannya.
Secara sekilas, jumlah hafalan tersebut memberatkan, di saat ujian-ujian praktik yang lain menghantui di hari-hari berikutnya. Tetapi bagiku, mana mungkin Tuhan yang begitu Agung mewahyukan al-Quran kepada nabi Muhammad Saw akan memberi jalan yang sulit bagi para penghafalnya? Justru aku yakin, bahwa Tuhan memudahkan setiap usaha jika hamba-Nya ingin menghafalkan ayat-ayat-Nya.
"Muhammad Azidan, sekarang giliranmu," aku memanggil absen nomor dua. Kemudian datanglah muridku dengan postur tubuh tinggi, dan warna kulit yang terbilang bening.
"Sekarang baca al-Quran dulu kan, Bu? Atau hafalan terjemah, atau mungkin hafalan surat?" logat dan nada bicaranya saat bertanya menjadi pengenal jika dia berasal dari luar Jawa.
"Baca Quran dulu ya," jawabku sambil membukakan salah satu ayat dalam surat an-Nisa untuk dibacanya.
Mendengar bacaannya dalam tiga ujian praktik tentang al-Quran, ternyata mampu menyudutkanku dalam diam. Iya, diam-diam merasa ada getaran mampir ketika ayat Tuhan dibacakan dalam keadaan makhrojul huruf, tajwid, dan kelancaran yang hampir sempurna, dan diam-diam merasa bangga mengenal murid sepertinya.
"Selanjutnya Muhammad Vian," setelah Azidan selesai, aku memanggil urutan selanjutnya. Kupikir bacaannya biasa saja, tetapi justru makhrojul hurufnya terdengar jelas dan lantang. Ah, rasanya jika seluruh peserta ujian praktik al-Quran macam mereka berdua, aku sebagai guru benar-benar damai saat menilai.
Ujian tersebut dimulai pukul 13.00 dan diakhiri pukul 13.30, dalam waktu yang sebentar aku hanya mampu menguji sekitar empat anak. Sementara 20 anak lainnya dilanjutkan esok hari. Lagi-lagi seoarang murid menghampiriku, Okta namanya. Meski aku baru dua minggu sebagai pendidik di sekolah tersebut dan tidak mendidik kelas XII, aku hafal sekali dengan Okta. Perempuan yang menurutku energik dan sebagai penghubung pertanyaan teman-temannya seputar ujian praktik al-Quran.
"Bu, kami mau ujian hari ini saja, kalau besok-besok bisa jadi kami lupa karena begitu banyaknya yang harus dihafal. Boleh ya bu?" Nada bicaranya bergitu berharap, mengetuk hatiku menjadi iba. Kulihat seluruh raut wajah di kelas tersebut memang mengharapkanku mengiyakan jawaban.
"Tapi, kalian harus les bahasa Inggris," jawabku datar.
"Terus gimana bu? Kami nggak mau besok-besok, kami maunya hari ini selesai bu," permintaan Okta yang mewakili teman-temannya semakin menyudutkanku untuk mengiyakan.
"Bagaimana kalau setelah les? Ibu tunggu kalian di kantor guru, nanti kalau sudah selesai les, ibu masuk ke ruang kelas kalian lagi," ucapanku yang ternyata membuat mereka berwajah sumringah dan bersemangat. Aku pun membalas mereka dengan senyum yang turut bahagia, sambil kulangkahkan kaki menuju kantor guru.
Hari itu aku ingat betul hari Senin, hari yang biasanya kuhadapi dengan puasa Sunnah. Selepas duduk di meja kerjaku, mataku terpekikkan oleh tumpukan tugas kelas X dan XI selama kutinggalkan menguji praktik kelas XII. Aku pun memutuskan mengoreksi pekerjaan mereka sambil berbincang-bincang dengan guru-guru yang masih tersisa.
"Bu Annis, sudah selesai ujian praktiknya?" sapa Bu Utami, guru Kimia yang begitu tenang dalam menyikapi kehidupan. Suaranya begitu halus dan sopan.
"Alhamdulillah, Bu. Tetapi saya masih melanjutkan nanti setelah les, anak-anak minta diselesaikan hari ini. Dan saya merasa mereka lelah jika harus menunda-nunda tugas," kataku mencoba menjelaskan.
"Pak Ikhwan, anak-anak kelas XII ujian praktik sholat fardhunya sudah bisa semua?" tiba-tiba Pak Doni berbicara, seolah menghentikan Bu Utami untuk melanjutkan pembicaraannya.
"Saya kurang tahu, Pak," jawab Pak Ikhwan singkat, karena Pak Ikhwan mengampu ujian praktik tayamum, wudhu, dan sholat jenazah di musholla. Sementara sholat fardhu diampu Bu Wiwik dan ruangannya di sebelah ruanganku.
"Alhamdulillah yang IPA 1 selesai pak, tetapi IPA 2 baru tiga anak. Karena masih banyak yang harus dituntun, jadi Bu Wiwik meminta mereka lebih siap lagi," aku mencoba membantu jawaban Pak Ikhwan.
"Kalau hafalan, mungkin anak-anaknya takut lupa ya Bu Annis? Makanya minta sekarang selesai," Bu Utami kembali melanjutkan pertanyaannya.
"Iya, Bu," aku kembali menjawab dengan singkat, karena saat itu aku sambil mengoreksi pekerjaan siswa.
"Kalau saya, demi menjaga hafalan itu saya membaca suratnya secara berurutan dalam sholat. Alahmdulillah saya hafal urutannya," Pak Doni kembali nimbrung, dan seketika saya termenung. Beliau dengan latar belakang guru Matematika, tetapi berusaha menjaga hafalannya dengan memahami urutannya, sementara saya yang benar-benar guru Agama Islam, tidak pernah melakukan hal demikian. Selain itu, beliau juga lelaki bujang yang menjaga nafsu duniawinya dengan puasa Daud. Mungkin sebagai alarm, bahwa hidup harus mementingkan akhirat. Masya Allah. Gumamku dalam hati.
"Bu Annis, ajarin matematika," tiba-tiba tiga anak kelas X menghampiriku sambil membawa tugas-tugas matematikanya.
Perlahan aku ajari mereka mengerjakan semua soal matematika tersebut. Meskipun aku tidak memiliki kepandaian dalam matematika, tetapi aku selalu berusaha untuk memahami rumus. Alhasil aku gagal mengoreksi tugas-tugas muridku selama kutinggalkan memgurusi ujian praktik kelas XII. Karena anak-anak kelas X yang minta diajarkan matematika selesai tepat ketika saya mau memulai ujian praktik al-Quran untuk kelas XII IPA 2. Dan aku segera bergegas mengurusi ujian praktik kembali.
Baru beberapa anak yang maju, kumandang adzan Ashar memanggil, aku mengajak anak-anak menunaikan ibadah terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka harus berjibaku lagi menghadapi ujian praktik.
"Bu, kan sudah selesai sholat, kita mau ujian lagi. Tapi kami mau beli makan dulu ya, Ibu Annis nitip nggak?" ucap Nurul Huda dengan nada datar.
"Ibu puasa," jawabku singkat.
"Apa?? Ibu puasa? Ya Allah," sahut Tika, salah satu muridku yang terlihat selalu tersenyum.
"Ibu maafin kami ya, Ibu rela lembur demi kami. Bu, nanti minta gajinya ditambahin saja," beberapa murid bersahutan saling berebut menjawab.
"Ibu tetap absen pulang jam 14.00."
"Ya Allah, Bu," semua murid-murid kaget.
"Bagi Ibu, absen Ibu jam berapa tidak penting. Yang terpenting kalian ujian dengan bahagia dan yakin bisa menyelesaikan dengan baik," jelasku mencoba menenangkan kegaduhan karena kekagetan mereka.
Lantas di ujung timur samping pintu kelas, tampak beberapa murid membicarakan tentang diriku yang puasa. Entah apa yang mereka rencanakan, aku memilih fokus menguji murid-murid yang belum. Dan akhirnya, setelah puluhan menit kulalui, tibalah giliran murid terakhir. Dia menyelesaikan ujian praktiknya tepat pukul 18.00, enam menit sebelum waktu berbuka puasa. Aku pun bergegas menyiapkan barang-barang ujian praktik untuk kubawa pulang, salah satu anak mengantarku, karena memang hari itu aku jalan kaki. Tetapi, sebelum aku berpamitan, murid-murid kelas XII IPA 2 berbondong-bondong masuk ke kelas. Mereka memberikan sekotak rahmat Allah yang diperantarakan kepada mereka untuk buka puasaku. Rahmat tersebut berisi paket nasi, es buah, dan air mineral. Aku berkomentar bahwa hal tersebut merepotkan bagi mereka. Namun mereka malah menjawab, "Ini tanda terima kasih kami untuk Ibu. Karena Ibu telah sabar merelakan waktunya untuk kami, Ibu tidak mengeluh, dan Ibu menuntun kami untuk sukses ujian praktik." Aku hanya tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih untuk mereka. Terlebih saat situasi dimana aku tidak mengajar kelas XII dan tidak mengenal mereka, kelas XII IPA 2 justru menjadi kelas yang seperti keluarga baru bersama murid-muridku yang hendak melangkah jauh dari sekolah untuk meraih cita-cita mereka.
Perjalanan ujian praktik tersebut, menjadi awal mula keakrabanku dengan kelas XII. Bahkan di saat aku selesai wisuda, beberapa dari mereka sudah menungguku di rumah, mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku. Jadi, kini giliranku yang harus mendoakan kebaikan untuk mereka.
Kepada XII IPA 2
Mimpi adalah waktu yang kau pinang dalam dekap
Sementara waktu adalah takdir antara ibadahmu bersama Tuhan
Dan takdir adalah buah jalanmu yang ikhlas
Di antara kuyup dan kering pikiran
Di antara rindang dan kemaraunya rasa
Di antara terang dan gelapnya ingin
Kau sirius bagiku yang menengadah
Pijarmu hangat, pijarmu kelak merentangkan jarak
Lalu pada munajat malam, kuharap kau terpagar kebaikan
Berjalanlah kau anak-anak didikku
Banyak pintu tempatmu memasuki lorong pilihan
Banyak jendela tempatmu menghirup tentang cita
Kau hanya perlu bersabar
Meneguk jiwa kesungguhan
Dalam langkah tanpa patah
MOSHA, 27 Februari 2018, 09.00.
Sebelum cerita singkat ini kututup, aku ingin membisikkan satu hal pada kalian. "Di depan, jalan terlampau banyak, kalian tidak perlu memilih, kalian hanya perlu menjalani jalan yang terbaik. Dan mimpi kalian, adalah hak otoriter Tuhan untuk mengizinkan, kalian hanya perlu berusaha, lalu mengabarkan pada gurumu ini, bahwa kelak kalian adalah generasi yang patut diperjuangkan."
"Bu, kenapa harus 15 surat hafalannya? Kenapa tidak 10? Bukankah itu memberatkan murid?" tiba-tiba salah seorang murid bertanya padaku sambil menunjukkan ekspresi paling berharap. Aku hanya tersenyum, dan kulanjutkan kembali memanggil para penghafal sesuai urutannya.
Secara sekilas, jumlah hafalan tersebut memberatkan, di saat ujian-ujian praktik yang lain menghantui di hari-hari berikutnya. Tetapi bagiku, mana mungkin Tuhan yang begitu Agung mewahyukan al-Quran kepada nabi Muhammad Saw akan memberi jalan yang sulit bagi para penghafalnya? Justru aku yakin, bahwa Tuhan memudahkan setiap usaha jika hamba-Nya ingin menghafalkan ayat-ayat-Nya.
"Muhammad Azidan, sekarang giliranmu," aku memanggil absen nomor dua. Kemudian datanglah muridku dengan postur tubuh tinggi, dan warna kulit yang terbilang bening.
"Sekarang baca al-Quran dulu kan, Bu? Atau hafalan terjemah, atau mungkin hafalan surat?" logat dan nada bicaranya saat bertanya menjadi pengenal jika dia berasal dari luar Jawa.
"Baca Quran dulu ya," jawabku sambil membukakan salah satu ayat dalam surat an-Nisa untuk dibacanya.
Mendengar bacaannya dalam tiga ujian praktik tentang al-Quran, ternyata mampu menyudutkanku dalam diam. Iya, diam-diam merasa ada getaran mampir ketika ayat Tuhan dibacakan dalam keadaan makhrojul huruf, tajwid, dan kelancaran yang hampir sempurna, dan diam-diam merasa bangga mengenal murid sepertinya.
"Selanjutnya Muhammad Vian," setelah Azidan selesai, aku memanggil urutan selanjutnya. Kupikir bacaannya biasa saja, tetapi justru makhrojul hurufnya terdengar jelas dan lantang. Ah, rasanya jika seluruh peserta ujian praktik al-Quran macam mereka berdua, aku sebagai guru benar-benar damai saat menilai.
Ujian tersebut dimulai pukul 13.00 dan diakhiri pukul 13.30, dalam waktu yang sebentar aku hanya mampu menguji sekitar empat anak. Sementara 20 anak lainnya dilanjutkan esok hari. Lagi-lagi seoarang murid menghampiriku, Okta namanya. Meski aku baru dua minggu sebagai pendidik di sekolah tersebut dan tidak mendidik kelas XII, aku hafal sekali dengan Okta. Perempuan yang menurutku energik dan sebagai penghubung pertanyaan teman-temannya seputar ujian praktik al-Quran.
"Bu, kami mau ujian hari ini saja, kalau besok-besok bisa jadi kami lupa karena begitu banyaknya yang harus dihafal. Boleh ya bu?" Nada bicaranya bergitu berharap, mengetuk hatiku menjadi iba. Kulihat seluruh raut wajah di kelas tersebut memang mengharapkanku mengiyakan jawaban.
"Tapi, kalian harus les bahasa Inggris," jawabku datar.
"Terus gimana bu? Kami nggak mau besok-besok, kami maunya hari ini selesai bu," permintaan Okta yang mewakili teman-temannya semakin menyudutkanku untuk mengiyakan.
"Bagaimana kalau setelah les? Ibu tunggu kalian di kantor guru, nanti kalau sudah selesai les, ibu masuk ke ruang kelas kalian lagi," ucapanku yang ternyata membuat mereka berwajah sumringah dan bersemangat. Aku pun membalas mereka dengan senyum yang turut bahagia, sambil kulangkahkan kaki menuju kantor guru.
Hari itu aku ingat betul hari Senin, hari yang biasanya kuhadapi dengan puasa Sunnah. Selepas duduk di meja kerjaku, mataku terpekikkan oleh tumpukan tugas kelas X dan XI selama kutinggalkan menguji praktik kelas XII. Aku pun memutuskan mengoreksi pekerjaan mereka sambil berbincang-bincang dengan guru-guru yang masih tersisa.
"Bu Annis, sudah selesai ujian praktiknya?" sapa Bu Utami, guru Kimia yang begitu tenang dalam menyikapi kehidupan. Suaranya begitu halus dan sopan.
"Alhamdulillah, Bu. Tetapi saya masih melanjutkan nanti setelah les, anak-anak minta diselesaikan hari ini. Dan saya merasa mereka lelah jika harus menunda-nunda tugas," kataku mencoba menjelaskan.
"Pak Ikhwan, anak-anak kelas XII ujian praktik sholat fardhunya sudah bisa semua?" tiba-tiba Pak Doni berbicara, seolah menghentikan Bu Utami untuk melanjutkan pembicaraannya.
"Saya kurang tahu, Pak," jawab Pak Ikhwan singkat, karena Pak Ikhwan mengampu ujian praktik tayamum, wudhu, dan sholat jenazah di musholla. Sementara sholat fardhu diampu Bu Wiwik dan ruangannya di sebelah ruanganku.
"Alhamdulillah yang IPA 1 selesai pak, tetapi IPA 2 baru tiga anak. Karena masih banyak yang harus dituntun, jadi Bu Wiwik meminta mereka lebih siap lagi," aku mencoba membantu jawaban Pak Ikhwan.
"Kalau hafalan, mungkin anak-anaknya takut lupa ya Bu Annis? Makanya minta sekarang selesai," Bu Utami kembali melanjutkan pertanyaannya.
"Iya, Bu," aku kembali menjawab dengan singkat, karena saat itu aku sambil mengoreksi pekerjaan siswa.
"Kalau saya, demi menjaga hafalan itu saya membaca suratnya secara berurutan dalam sholat. Alahmdulillah saya hafal urutannya," Pak Doni kembali nimbrung, dan seketika saya termenung. Beliau dengan latar belakang guru Matematika, tetapi berusaha menjaga hafalannya dengan memahami urutannya, sementara saya yang benar-benar guru Agama Islam, tidak pernah melakukan hal demikian. Selain itu, beliau juga lelaki bujang yang menjaga nafsu duniawinya dengan puasa Daud. Mungkin sebagai alarm, bahwa hidup harus mementingkan akhirat. Masya Allah. Gumamku dalam hati.
"Bu Annis, ajarin matematika," tiba-tiba tiga anak kelas X menghampiriku sambil membawa tugas-tugas matematikanya.
Perlahan aku ajari mereka mengerjakan semua soal matematika tersebut. Meskipun aku tidak memiliki kepandaian dalam matematika, tetapi aku selalu berusaha untuk memahami rumus. Alhasil aku gagal mengoreksi tugas-tugas muridku selama kutinggalkan memgurusi ujian praktik kelas XII. Karena anak-anak kelas X yang minta diajarkan matematika selesai tepat ketika saya mau memulai ujian praktik al-Quran untuk kelas XII IPA 2. Dan aku segera bergegas mengurusi ujian praktik kembali.
Baru beberapa anak yang maju, kumandang adzan Ashar memanggil, aku mengajak anak-anak menunaikan ibadah terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka harus berjibaku lagi menghadapi ujian praktik.
"Bu, kan sudah selesai sholat, kita mau ujian lagi. Tapi kami mau beli makan dulu ya, Ibu Annis nitip nggak?" ucap Nurul Huda dengan nada datar.
"Ibu puasa," jawabku singkat.
"Apa?? Ibu puasa? Ya Allah," sahut Tika, salah satu muridku yang terlihat selalu tersenyum.
"Ibu maafin kami ya, Ibu rela lembur demi kami. Bu, nanti minta gajinya ditambahin saja," beberapa murid bersahutan saling berebut menjawab.
"Ibu tetap absen pulang jam 14.00."
"Ya Allah, Bu," semua murid-murid kaget.
"Bagi Ibu, absen Ibu jam berapa tidak penting. Yang terpenting kalian ujian dengan bahagia dan yakin bisa menyelesaikan dengan baik," jelasku mencoba menenangkan kegaduhan karena kekagetan mereka.
Lantas di ujung timur samping pintu kelas, tampak beberapa murid membicarakan tentang diriku yang puasa. Entah apa yang mereka rencanakan, aku memilih fokus menguji murid-murid yang belum. Dan akhirnya, setelah puluhan menit kulalui, tibalah giliran murid terakhir. Dia menyelesaikan ujian praktiknya tepat pukul 18.00, enam menit sebelum waktu berbuka puasa. Aku pun bergegas menyiapkan barang-barang ujian praktik untuk kubawa pulang, salah satu anak mengantarku, karena memang hari itu aku jalan kaki. Tetapi, sebelum aku berpamitan, murid-murid kelas XII IPA 2 berbondong-bondong masuk ke kelas. Mereka memberikan sekotak rahmat Allah yang diperantarakan kepada mereka untuk buka puasaku. Rahmat tersebut berisi paket nasi, es buah, dan air mineral. Aku berkomentar bahwa hal tersebut merepotkan bagi mereka. Namun mereka malah menjawab, "Ini tanda terima kasih kami untuk Ibu. Karena Ibu telah sabar merelakan waktunya untuk kami, Ibu tidak mengeluh, dan Ibu menuntun kami untuk sukses ujian praktik." Aku hanya tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih untuk mereka. Terlebih saat situasi dimana aku tidak mengajar kelas XII dan tidak mengenal mereka, kelas XII IPA 2 justru menjadi kelas yang seperti keluarga baru bersama murid-muridku yang hendak melangkah jauh dari sekolah untuk meraih cita-cita mereka.
Perjalanan ujian praktik tersebut, menjadi awal mula keakrabanku dengan kelas XII. Bahkan di saat aku selesai wisuda, beberapa dari mereka sudah menungguku di rumah, mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku. Jadi, kini giliranku yang harus mendoakan kebaikan untuk mereka.
Kepada XII IPA 2
Mimpi adalah waktu yang kau pinang dalam dekap
Sementara waktu adalah takdir antara ibadahmu bersama Tuhan
Dan takdir adalah buah jalanmu yang ikhlas
Di antara kuyup dan kering pikiran
Di antara rindang dan kemaraunya rasa
Di antara terang dan gelapnya ingin
Kau sirius bagiku yang menengadah
Pijarmu hangat, pijarmu kelak merentangkan jarak
Lalu pada munajat malam, kuharap kau terpagar kebaikan
Berjalanlah kau anak-anak didikku
Banyak pintu tempatmu memasuki lorong pilihan
Banyak jendela tempatmu menghirup tentang cita
Kau hanya perlu bersabar
Meneguk jiwa kesungguhan
Dalam langkah tanpa patah
MOSHA, 27 Februari 2018, 09.00.
Sebelum cerita singkat ini kututup, aku ingin membisikkan satu hal pada kalian. "Di depan, jalan terlampau banyak, kalian tidak perlu memilih, kalian hanya perlu menjalani jalan yang terbaik. Dan mimpi kalian, adalah hak otoriter Tuhan untuk mengizinkan, kalian hanya perlu berusaha, lalu mengabarkan pada gurumu ini, bahwa kelak kalian adalah generasi yang patut diperjuangkan."
Minggu, 25 Februari 2018
Tugas Keprajuritanmu Selesai, Aditya Yoga Pratama
Pikiranku mulai lusuh, ketika hujan dengan sengaja mampir di beranda sekolah tempatku mengajar. Aku mengkhawatirkan murid-muridku yang mulai berlalu lalang menuju rumah masing-masing seusai jam pelajaran berakhir. Ada beberapa yang sanggup kutahan untuk sejenak berteduh dan pulang saat hujan telah reda. Tetapi, aku tak melihat salah seorang muridku, Aditya Yoga Pratama, seorang murid dengan postur tubuh tinggi, kulit berwarna sawo matang yang begitu bersih, wajah yang menunjukkan sikap pendiamnya dan mengendarai motor CBR merah. Mungkin sudah pulang lebih dulu, pikirku saat itu.
Beberapa waktu menunggu, hujan pun reda. Aku bergegas mengambil sepeda yang terparkir rapi di area parkir sepeda. Kukayuh sepeda itu menuju rumah yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Namun di tengah perjalanan, di pinggir pertigaan, mataku tertuju pada bangunan sekolahku yang tampak dari belakang. Seolah ada hal magis yang mencoba memanggil, dan aku memgurungkan niat untuk menghiraukan. Aku tetap mengayuh sepedaku, sampai depan rumah, sampai akhirnya ayahku mengagetkanku dengan suara khasnya. "Sudah pulang? Mau ke PDM Sleman ya?" tiba-tiba suara dan raganya sudah di hadapanku sebelum aku mengucap salam. "Assalamu'alaikum. Hari ini aku nggak ke PDM Sleman, padahal sih memang mintanya dari sana aku harus datang setiap kampus Samara. Tapi, kok rasa-rasanya aku harus di rumah saja. Pikiranku kacau," jawabku dengan nada lesu.
"Ya sudah, kalau begitu kamu ke Rumah Dinas Pejabat Polda saja buat ngajar privat mengaji," tegas ayahku untuk mengingatkan semua tugas-tugasku. Dan entah mengapa, jawabanku tetap sama, aku tidak pergi ke mana-mana, aku ingin di ruamh. Lantas, ragaku yang mulai lelah kuajak menuju kamar. Naasnya, ketika hendak melakukan sholat ashar sebelum mengistirahatkan diri, mukena yang sedang kupakai tertiup angin dan menyampar gelas yang ada di atas almari. Gelas itu pecah, gelas lambang persaudaraan semasa SMK dulu. Lagi-lagi, situasi tersebut membawa pikiranku kembali mrmikirkan SMA Muhammadiyah 1 Prambanan. Aku mencoba menerka penyebabnya, karena aku merasa satu hari tersebut telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Tetapi satu hal yang sanggup kuingat, tentang keinginanku mengajak murid-muridku menerapkan waktu istirahat sebagai waktu ibadah, dan rencananya kelas XI IPA 1 yang ingin kuajak memulainya.
Tiba-tiba, notif group MOSHA yang berisikan guru dan karyawan muncul di layar handphoneku. Sekilas aku melihat dari Bapak Kepala Sekolah. Membaca pesan tersebut, aku langsung terdiam, batinku hanya berulang mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un. Ya, di dalam pesan tersebut tertulis jelas, bahwa Aditya Yoga Pratama telah diambil dari dunia oleh Sang Kholik lantaran kecelakaan. Seketika aku langsung memberi kabar ke Makruf, teman seangkatan Adit, yang aku tahu mereka sangat akrab, dan sering kali Makruf memasang foto profil Whatsapp bersama Adit. Hampir seluruh murid-murid yang kukabari tidak percaya, mereka kaget bukan main, karena di hari tersebut Adit begitu ceria. Aku pun kembali terdiam, menarik napas panjang, dan berucap dalam hati, "Allah, terima kasih atas kesempatan untukku mengenal muridku, Aditya. Semoga Engkau memamggilnya dalam khusnul khotimah, karena Aditya selesai menuntut ilmu."
"Malah melamun," sahut ibuku.
"Muridku, Aditya Yoga Pratama meninggal karena kecelakaan, rumahnya di Wukirharjo," jawabku dengan nada goyah dan menahan air mata.
"Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un," ucap kedua orangtuaku.
"Sebentar, Ibu tanya sama teman Ibu, siapa tahu kenal," lanjut Ibuku. Tetapi sebelum menanyakan, ada pesan masuk di Whatsapp yang menyatakan bahwa anak dari teman ibuku meninggal, dan ternyata Aditya muridku yang dimaksud. Seorang anak tunggal yang begitu taat dengan orangtuanya. Sungguh, ini seperti ujian berlipat bagi keluarga muridku.
Sementara aku, sebagai gurunya, seolah aku kehilangan anakku, meskipun hanya sebentar mengajar, dia pernah beberapa waktu tampak begitu memiliki hubungan yang dekat antara guru dan murid. Dan hari ini, dua hari selang kepergiannya, aku akan merangkumkan kisah dalam bentuk surat dan puisi untuk muridku, Aditya Yoga Pratama.
Surat untukmu, Aditya Yoga Pratama, yang sengaja ibu tuliskan. Agar jika ibu membaca, secara tidak langsunh ibu ingin selalu mendoakan kepergianmu, Nak.
Aditya, bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu dapat menjawab semua pertanyaan Munkar dan Nakir di alam kubur. Kamu masih ingat kan yang pernah ibu ajarkan? Kamu harus menjawab Tuhanmu Allah, Nabimu Muhammad, Kitabmu al-Quran, Agamamu Islam, Temanmu Kaum Muslim, dan Musuhmu Syaithon. Ibu yakin, doa keluarga dan saudara-suadaramu, termasuk para pendidikmu akan memudahkan jalanmu di alam barzah.
Aditya, mengingatmu selalu mengingatkan ibu tentang masa awal-awal mengajar. Sering kali kamu tidak membawa lembar bacaan sholat. Dan saat itu kamu pernah dihukum sendirian, lalu kamu memgeluh lelah, dan ibu memberikan tempat duduk ibu untukmu, sedangkan ibu memilih berdiri. Kamu juga harus ingat, ibu pernah menyita handphonemu sekali, lalu kamu berucap, "Ibu Annis, aku tidak akan mengulangi lagi." Setelah itu, hari-hari berikutnya kamu menyimpan handphone di dalam ranselmu.
Tetapi Jumat lalu Aditya, kamu membawa lembar bacaan sholat, kamu membacanya dengan khusyuk, dan ibu sama sekali tidak menegurmu. Kamu begitu tenang dan baik dalam membaca, bahkan selama pelajaran pun kamu begitu fokus. Setiap ibu bertanya kamu menjawabnya dengan baik, sungguh ibu melihatmu begitu teduh saat itu. Kamu juga tiba-tiba ke depan dan menjabat tangan ibu saat pergantian pelajaran, padahal hal itu tidak biasa dilakukan olehmu. Kamu berikan senyum ikhlasmu, dan kamu ucapkan salam sekaligus terima kasih dengan fasih.
Ibu selalu ingat cita-citamu yang ingin menjadi prajurit negara. Hingga akhirnya pada hari Sabtu, 24 Februari 2018, Ibu sudah menganggapmu sebagai prajurot negara. Sebab di hari itu, kamu telah usah menjadi prajurit Allah dalam menjalankan hidup di dunia yang fana, yang harus diusaikan karena memang sudah saatnya kamu tidak dapat menghalau peluru kematian, dan kamu harus mempertanggungjawabkan keprajuritanmu di hadapan Allah.
Percayalah Nak, meski kamu di alam sana, banyak doa yang mengalir untukmu begitu kuat. Banyak kenangan yang orang-orang simpan saat bersamamu, termasuk Ibu. Sudah saatnya kamu khusyuk memeluk Allah setelah menuntaskan tugas-tugas prajuritmu. Kamu sudah tenang, anakku sayang. Kamu mengajarkan Ibu tentang mendidik dengan kesabaran, hingga ibu mampu memastikanmu tanpa kesalahan dalam pelajaran Ibu sebelum akhirnya kamu benar-benar melepas ikatan hidup di dunia.
Mosha, 26 Februari 2018, 09.11 WIB.
Setangkai Detik Terakhir
Langit gelap, Mikail hadir bersama Izrail
Dan medan perangmu usai pada mesin yang pasrah atas takdir
Sementara orang-orang lalu lalang bertanya pada sepi
Tubuhmu mulai renta, jalanan menghentikan denyutmu
Bangunan berpenghuni jas putih menyuarakanmu pada Kuasa-Nya
Isak tangis dan ngeri berhamburan
Matamu terpejam, Izrail kembali ke pelukan Tuhan
Usai tugasmu dalam sempurnanya juangmu
Langkahmu telah menuju barzah
Mosha, 26 Februari 2018, 09.42.
Langganan:
Postingan (Atom)