"Seperti daun, para manusia tumbuh, menghijau lalu gugur. Seperti itulah, setiap perjuangan memiliki titik pulangnya masing-masing."
Ada yang getir memikirkan nasib yang terus digerus usia, menerka-nerka bagaimana langkah memberi sumbangsih terindah dalam kehidupan. Termasuk aku. Tetapi, getir itu pudar seiring bertemunya aku dengan saudara Generasi Bakti Negeri. Kamilah, salah satu tangan Tuhan yang ingin memberi harapan bagi anak negeri, bahwa mimpi adalah tempat berpijak untuk tetap hidup dan menjadi inspirator bagi diri yang kadang lelah. Kami memiliki tubuh berjumlah 40, kami memiliki tujuan membangun negeri, dan kami memiliki hal yang menjadi ciri khas bahwa tubuh kami layak disebut pengabdi.
Baiklah, akan kuawali cerita kami dengan awal kata, "SEBATIK." Kata tersebut adalah nama salah satu pulau yang ada di Indonesia, pulau di perbatasan utara wilayah Kalimantan Utara. Pulau dengan dua kepemilikan negara, Indonesia dan Malaysia, sekaligus pulau yang menjadi tempat pilihan kami mengabdikan diri untuk berbagi ilmu bersama masyarakat perbatasan. Kata kedua, "MENGABDI." Sebuah kata yang secara nalurinya dapat diartikan bahwa kami hendak menjadi abdi, menjadi pelayan bagi masyarakat, pelayan yang akan membawa masyarakat lebih memiliki pintu untuk memasuki lorong keindahan hidup. Sementara kata ketiga, "LILLAH." Kata yang diambil dalam bahasa Arab, memiliki arti karena Allah. Sebab jika bicara lelahnya kami mengabdi, itu sungguh lelah. Kami jauh-jauh dari Yogyakarta, kami dididik oleh amal usaha Muhammadiyah, lalu kami dilepas jauh ke Sebatik untuk menjadi anak panah Muhammadiyah. Ya, anak panah yang siap memberikan tikaman kebermanfaatan dalam mewujudkan masyarakat bangsa menuju masyarakat madani. Tetapi kami harus siap dan yakin, mengubah semua lelah kami menjadi keikhlasan.
Perjalanan kami dimulai di kampus muda mendunia, kami dididik, kami dibentuk, dan kami diseleksi kemampuan dalam mengabdi. Pernyataan lulusnya kami menjadi 40 prajurit bukan hal yang menyenangkan, melainkan hal yang menambah amanah dalam pundak kami. Banyak hal yang kami persiapkan untuk menuju medan pengabdian, dari penggalangan dana, membangun mitra kerja dengan masyarakat sekitar kampus untuk menjadi pusat percobaan kegiatan pengabdian, sampai ke pelatihan-pelatihan untuk memanajemen kepemimpinan dan kapabilitas kami sebagai pengabdi. Hingga akhirnya, kami dipertemukan dengan getaran yang akan mengantar kami menuju Sebatik. Kami benar-benar multi memantapkan hati sejak saat itu.
"Kalian sudah siap mengabdi?" tegas Brama, ketua Generasi Bakti Negeri Saudara Sebatik Project 3, ketika kami sampai di Sebatik dan mengadakan musyawarah program kerja yang harus dijalankan untuk tiga wilayah kelurahan.
"Kami siap!" jawab seluruh anggota.
"Kalau begitu, jadilah pemuda yang tangguh! Karena kalian di sini mampu menjadi prajurit, meski tanpa sekolah prajurit. Dan kalian harus berkontribusi untuk program pengandian kalian," sahut Jauhari, salah seorang anggota yang diamanahi sebagai ketua kelompok salah satu kelurahan.
"Kita harus siap dipecah menjadi tiga, dan kita harus terus berkoordinasi," lanjut Brama.
"Siap!" semua kembali menjawab dengan serempak.
Sejak intruksi tersebut, kami mulai menjadi hari pertama sampai hari kelimapuluh mengabdi untuk masyarakat Sebatik. Segala pelajaran hidup telah kami dapatkan. Sementara aku, hanyalah sebagian tubuh 40 prajurit penantang tapal batas yang merangkum kisah dalam tulisan, mengabadikannya dalam beberapa media, sebab aku ingin mengajarkan pada pemuda lain, bahwa hidup adalah tentang berbagi dan berperilaku baik.
Teruntuk kita, 40 Prajurit Penantang Tapal Batas, biar kutulis puisi sebagai penjaga bahwa kita pernah melewati masa-masa sulit yang mengantarkan kita pada cahaya.
40 Prajurit Penantang Tapal Batas
Mikail datang ; tubuh kita usaikan mengabdi
Anak-anak hujan berhamburan di ujung-ujung jalan
Sungai Limau, Bukit Harapan, Maspul, pecah segala yang tertahan
Meneguk rindu yang mulai berdiam
Detik malih menit, menit menjelma jam, dan jam menemui hari
Arak-arakan kenang memilih kita sebagai gua pertapaan
Tentang perjuangan dan medan yang memaksa kita berperang
Sebelum peluru mengambil bagian darah Indonesia
Selanjutnya, kita adalah panah yang berhamburan
Sebab bersama mengajarkan kokoh lalu terpisah
Kita memiliki langkah masing-masing
Menjadi pengabdi bagi tanah yang terpijak
Pulanglah, rapikan kembali debar ikhlasmu
Pulanglah, tekunkan kembali nadi ibadahmu
Pulanglah, pikirkan kembali langkah lanjutmu
Pulanglah, teguhkan kembali detak abdimu
Prambanan, 1 Maret 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar