Senin, 26 Februari 2018

Sekotak Rahmat Dari XII IPA 2

Ayat-ayat al-Quran bergema dari detik ke detik, mengalun dari bibir siswa siswi SMA Muhammadiyah 1 Prambanan. Seketika jalanan ruang kelas XII serupa lorong-lorong bagi para penghafal al-Quran. Satu per satu ayat mereka hafalkan, saling menyimak satu sama lain, dan saling memberi kekuatan jika salah seorang hendak menyetorkan hafalan.

"Bu, kenapa harus 15 surat hafalannya? Kenapa tidak 10? Bukankah itu memberatkan murid?" tiba-tiba salah seorang murid bertanya padaku sambil menunjukkan ekspresi paling berharap. Aku hanya tersenyum, dan kulanjutkan kembali memanggil para penghafal sesuai urutannya.

Secara sekilas, jumlah hafalan tersebut memberatkan, di saat ujian-ujian praktik yang lain menghantui di hari-hari berikutnya. Tetapi bagiku, mana mungkin Tuhan yang begitu Agung mewahyukan al-Quran kepada nabi Muhammad Saw akan memberi jalan yang sulit bagi para penghafalnya? Justru aku yakin, bahwa Tuhan memudahkan setiap usaha jika hamba-Nya ingin menghafalkan ayat-ayat-Nya.

"Muhammad Azidan, sekarang giliranmu," aku memanggil absen nomor dua. Kemudian datanglah muridku dengan postur tubuh tinggi, dan warna kulit yang terbilang bening.

"Sekarang baca al-Quran dulu kan, Bu? Atau hafalan terjemah, atau mungkin hafalan surat?" logat dan nada bicaranya saat bertanya menjadi pengenal jika dia berasal dari luar Jawa.

"Baca Quran dulu ya," jawabku sambil membukakan salah satu ayat dalam surat an-Nisa untuk dibacanya.

Mendengar bacaannya dalam tiga ujian praktik tentang al-Quran, ternyata mampu menyudutkanku dalam diam. Iya, diam-diam merasa ada getaran mampir ketika ayat Tuhan dibacakan dalam keadaan makhrojul huruf, tajwid, dan kelancaran yang hampir sempurna, dan diam-diam merasa bangga mengenal murid sepertinya.

"Selanjutnya Muhammad Vian," setelah Azidan selesai, aku memanggil urutan selanjutnya. Kupikir bacaannya biasa saja, tetapi justru makhrojul hurufnya terdengar jelas dan lantang. Ah, rasanya jika seluruh peserta ujian praktik al-Quran macam mereka berdua, aku sebagai guru benar-benar damai saat menilai.

Ujian tersebut dimulai pukul 13.00 dan diakhiri pukul 13.30, dalam waktu yang sebentar aku hanya mampu menguji sekitar empat anak. Sementara 20 anak lainnya dilanjutkan esok hari. Lagi-lagi seoarang murid menghampiriku, Okta namanya. Meski aku baru dua minggu sebagai pendidik di sekolah tersebut dan tidak mendidik kelas XII, aku hafal sekali dengan Okta. Perempuan yang menurutku energik dan sebagai penghubung pertanyaan teman-temannya seputar ujian praktik al-Quran.

"Bu, kami mau ujian hari ini saja, kalau besok-besok bisa jadi kami lupa karena begitu banyaknya yang harus dihafal. Boleh ya bu?" Nada bicaranya bergitu berharap, mengetuk hatiku menjadi iba. Kulihat seluruh raut wajah di kelas tersebut memang mengharapkanku mengiyakan jawaban.

"Tapi, kalian harus les bahasa Inggris," jawabku datar.

"Terus gimana bu? Kami nggak mau besok-besok, kami maunya hari ini selesai bu," permintaan Okta yang mewakili teman-temannya semakin menyudutkanku untuk mengiyakan.

"Bagaimana kalau setelah les? Ibu tunggu kalian di kantor guru, nanti kalau sudah selesai les, ibu masuk ke ruang kelas kalian lagi," ucapanku yang ternyata membuat mereka berwajah sumringah dan bersemangat. Aku pun membalas mereka dengan senyum yang turut bahagia, sambil kulangkahkan kaki menuju kantor guru.

Hari itu aku ingat betul hari Senin, hari yang biasanya kuhadapi dengan puasa Sunnah. Selepas duduk di meja kerjaku, mataku terpekikkan oleh tumpukan tugas kelas X dan XI selama kutinggalkan menguji praktik kelas XII. Aku pun memutuskan mengoreksi pekerjaan mereka sambil berbincang-bincang dengan guru-guru yang masih tersisa.

"Bu Annis, sudah selesai ujian praktiknya?" sapa Bu Utami, guru Kimia yang begitu tenang dalam menyikapi kehidupan. Suaranya begitu halus dan sopan.

"Alhamdulillah, Bu. Tetapi saya masih melanjutkan nanti setelah les, anak-anak minta diselesaikan hari ini. Dan saya merasa mereka lelah jika harus menunda-nunda tugas," kataku mencoba menjelaskan.

"Pak Ikhwan, anak-anak kelas XII ujian praktik sholat fardhunya sudah bisa semua?" tiba-tiba Pak Doni berbicara, seolah menghentikan Bu Utami untuk melanjutkan pembicaraannya.

"Saya kurang tahu, Pak," jawab Pak Ikhwan singkat, karena Pak Ikhwan mengampu ujian praktik tayamum, wudhu, dan sholat jenazah di musholla. Sementara sholat fardhu diampu Bu Wiwik dan ruangannya di sebelah ruanganku.

"Alhamdulillah yang IPA 1 selesai pak, tetapi IPA 2 baru tiga anak. Karena masih banyak yang harus dituntun, jadi Bu Wiwik meminta mereka lebih siap lagi," aku mencoba membantu jawaban Pak Ikhwan.

"Kalau hafalan, mungkin anak-anaknya takut lupa ya Bu Annis? Makanya minta sekarang selesai," Bu Utami kembali melanjutkan pertanyaannya.

"Iya, Bu," aku kembali menjawab dengan singkat, karena saat itu aku sambil mengoreksi pekerjaan siswa.

"Kalau saya, demi menjaga hafalan itu saya membaca suratnya secara berurutan dalam sholat. Alahmdulillah saya hafal urutannya," Pak Doni kembali nimbrung, dan seketika saya termenung. Beliau dengan latar belakang guru Matematika, tetapi berusaha menjaga hafalannya dengan memahami urutannya, sementara saya yang benar-benar guru Agama Islam, tidak pernah melakukan hal demikian. Selain itu, beliau juga lelaki bujang yang menjaga nafsu duniawinya dengan puasa Daud. Mungkin sebagai alarm, bahwa hidup harus mementingkan akhirat. Masya Allah. Gumamku dalam hati.

"Bu Annis, ajarin matematika," tiba-tiba tiga anak kelas X menghampiriku sambil membawa tugas-tugas matematikanya.

Perlahan aku ajari mereka mengerjakan semua soal matematika tersebut. Meskipun aku tidak memiliki kepandaian dalam matematika, tetapi aku selalu berusaha untuk memahami rumus. Alhasil aku gagal mengoreksi tugas-tugas muridku selama kutinggalkan memgurusi ujian praktik kelas XII. Karena anak-anak kelas X yang minta diajarkan matematika selesai tepat ketika saya mau memulai ujian praktik al-Quran untuk kelas XII IPA 2. Dan aku segera bergegas mengurusi ujian praktik kembali.

Baru beberapa anak yang maju, kumandang adzan Ashar memanggil, aku mengajak anak-anak menunaikan ibadah terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka harus berjibaku lagi menghadapi ujian praktik.

"Bu, kan sudah selesai sholat, kita mau ujian lagi. Tapi kami mau beli makan dulu ya, Ibu Annis nitip nggak?" ucap Nurul Huda dengan nada datar.

"Ibu puasa," jawabku singkat.

"Apa?? Ibu puasa? Ya Allah," sahut Tika, salah satu muridku yang terlihat selalu tersenyum.

"Ibu maafin kami ya, Ibu rela lembur demi kami. Bu, nanti minta gajinya ditambahin saja," beberapa murid bersahutan saling berebut menjawab.

"Ibu tetap absen pulang jam 14.00."

"Ya Allah, Bu," semua murid-murid kaget.

"Bagi Ibu, absen Ibu jam berapa tidak penting. Yang terpenting kalian ujian dengan bahagia dan yakin bisa menyelesaikan dengan baik," jelasku mencoba menenangkan kegaduhan karena kekagetan mereka.

Lantas di ujung timur samping pintu kelas, tampak beberapa murid membicarakan tentang diriku yang puasa. Entah apa yang mereka rencanakan, aku memilih fokus menguji murid-murid yang belum. Dan akhirnya, setelah puluhan menit kulalui, tibalah giliran murid terakhir. Dia menyelesaikan ujian praktiknya tepat pukul 18.00, enam menit sebelum waktu berbuka puasa. Aku pun bergegas menyiapkan barang-barang ujian praktik untuk kubawa pulang, salah satu anak mengantarku, karena memang hari itu aku jalan kaki. Tetapi, sebelum aku berpamitan, murid-murid kelas XII IPA 2 berbondong-bondong masuk ke kelas. Mereka memberikan sekotak rahmat Allah yang diperantarakan kepada mereka untuk buka puasaku. Rahmat tersebut berisi paket nasi, es buah, dan air mineral. Aku berkomentar bahwa hal tersebut merepotkan bagi mereka. Namun mereka malah menjawab, "Ini tanda terima kasih kami untuk Ibu. Karena Ibu telah sabar merelakan waktunya untuk kami, Ibu tidak mengeluh, dan Ibu menuntun kami untuk sukses ujian praktik." Aku hanya tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih untuk mereka. Terlebih saat situasi dimana aku tidak mengajar kelas XII dan tidak mengenal mereka, kelas XII IPA 2 justru menjadi kelas yang seperti keluarga baru bersama murid-muridku yang hendak melangkah jauh dari sekolah untuk meraih cita-cita mereka.

Perjalanan ujian praktik tersebut, menjadi awal mula keakrabanku dengan kelas XII. Bahkan di saat aku selesai wisuda, beberapa dari mereka sudah menungguku di rumah, mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku. Jadi, kini giliranku yang harus mendoakan kebaikan untuk mereka.

Kepada XII IPA 2

Mimpi adalah waktu yang kau pinang dalam dekap
Sementara waktu adalah takdir antara ibadahmu bersama Tuhan
Dan takdir adalah buah jalanmu yang ikhlas

Di antara kuyup dan kering pikiran
Di antara rindang dan kemaraunya rasa
Di antara terang dan gelapnya ingin

Kau sirius bagiku yang menengadah
Pijarmu hangat, pijarmu kelak merentangkan jarak
Lalu pada munajat malam, kuharap kau terpagar kebaikan

Berjalanlah kau anak-anak didikku
Banyak pintu tempatmu memasuki lorong pilihan
Banyak jendela tempatmu menghirup tentang cita

Kau hanya perlu bersabar
Meneguk jiwa kesungguhan
Dalam langkah tanpa patah

MOSHA, 27 Februari 2018, 09.00.

Sebelum cerita singkat ini kututup, aku ingin membisikkan satu hal pada kalian. "Di depan, jalan terlampau banyak, kalian tidak perlu memilih, kalian hanya perlu menjalani jalan yang terbaik. Dan mimpi kalian, adalah hak otoriter Tuhan untuk mengizinkan, kalian hanya perlu berusaha, lalu mengabarkan pada gurumu ini, bahwa kelak kalian adalah generasi yang patut diperjuangkan."


2 komentar:

  1. Aamiin, terimakasih untuk doanya bu anis😂

    BalasHapus
  2. Haha, kembali kasih muridku yang selalu berusaha keras, semoga hasilmu sesuai usahamu..

    BalasHapus