Minggu, 25 Februari 2018

Tugas Keprajuritanmu Selesai, Aditya Yoga Pratama



Pikiranku mulai lusuh, ketika hujan dengan sengaja mampir di beranda sekolah tempatku mengajar. Aku mengkhawatirkan murid-muridku yang mulai berlalu lalang menuju rumah masing-masing seusai jam pelajaran berakhir. Ada beberapa yang sanggup kutahan untuk sejenak berteduh dan pulang saat hujan telah reda. Tetapi, aku tak melihat salah seorang muridku, Aditya Yoga Pratama, seorang murid dengan postur tubuh tinggi, kulit berwarna sawo matang yang begitu bersih, wajah yang menunjukkan sikap pendiamnya dan mengendarai motor CBR merah. Mungkin sudah pulang lebih dulu, pikirku saat itu.

Beberapa waktu menunggu, hujan pun reda. Aku bergegas mengambil sepeda yang terparkir rapi di area parkir sepeda. Kukayuh sepeda itu menuju rumah yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Namun di tengah perjalanan, di pinggir pertigaan, mataku tertuju pada bangunan sekolahku yang tampak dari belakang. Seolah ada hal magis yang mencoba memanggil, dan aku memgurungkan niat untuk menghiraukan. Aku tetap mengayuh sepedaku, sampai depan rumah, sampai akhirnya ayahku mengagetkanku dengan suara khasnya. "Sudah pulang? Mau ke PDM Sleman ya?" tiba-tiba suara dan raganya sudah di hadapanku sebelum aku mengucap salam. "Assalamu'alaikum. Hari ini aku nggak ke PDM Sleman, padahal sih memang mintanya dari sana aku harus datang setiap kampus Samara. Tapi, kok rasa-rasanya aku harus di rumah saja. Pikiranku kacau," jawabku dengan nada lesu.

"Ya sudah, kalau begitu kamu ke Rumah Dinas Pejabat Polda saja buat ngajar privat mengaji," tegas ayahku untuk mengingatkan semua tugas-tugasku. Dan entah mengapa, jawabanku tetap sama, aku tidak pergi ke mana-mana, aku ingin di ruamh. Lantas, ragaku yang mulai lelah kuajak menuju kamar. Naasnya, ketika hendak melakukan sholat ashar sebelum mengistirahatkan diri, mukena yang sedang kupakai tertiup angin dan menyampar gelas yang ada di atas almari. Gelas itu pecah, gelas lambang persaudaraan semasa SMK dulu. Lagi-lagi, situasi tersebut membawa pikiranku kembali mrmikirkan SMA Muhammadiyah 1 Prambanan.  Aku mencoba menerka penyebabnya, karena aku merasa satu hari tersebut telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Tetapi satu hal yang sanggup kuingat, tentang keinginanku mengajak murid-muridku menerapkan waktu istirahat sebagai waktu ibadah, dan rencananya kelas XI IPA 1 yang ingin kuajak memulainya.

Tiba-tiba, notif group MOSHA yang berisikan guru dan karyawan muncul di layar handphoneku. Sekilas aku melihat dari Bapak Kepala Sekolah. Membaca pesan tersebut, aku langsung terdiam, batinku hanya berulang mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un. Ya, di dalam pesan tersebut tertulis jelas, bahwa Aditya Yoga Pratama telah diambil dari dunia oleh Sang Kholik lantaran kecelakaan. Seketika aku langsung memberi kabar ke Makruf, teman seangkatan Adit, yang aku tahu mereka sangat akrab, dan sering kali Makruf memasang foto profil Whatsapp bersama Adit. Hampir seluruh murid-murid yang kukabari tidak percaya, mereka kaget bukan main, karena di hari tersebut Adit begitu ceria. Aku pun kembali terdiam, menarik napas panjang, dan berucap dalam hati, "Allah, terima kasih atas kesempatan untukku mengenal muridku, Aditya. Semoga Engkau memamggilnya dalam khusnul khotimah, karena Aditya selesai menuntut ilmu."

"Malah melamun," sahut ibuku.
"Muridku, Aditya Yoga Pratama meninggal karena kecelakaan, rumahnya di Wukirharjo," jawabku dengan nada goyah dan menahan air mata.
"Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un," ucap kedua orangtuaku.
"Sebentar, Ibu tanya sama teman Ibu, siapa tahu kenal," lanjut Ibuku. Tetapi sebelum menanyakan, ada pesan masuk di Whatsapp yang menyatakan bahwa anak dari teman ibuku meninggal, dan ternyata Aditya muridku yang dimaksud. Seorang anak tunggal yang begitu taat dengan orangtuanya. Sungguh, ini seperti ujian berlipat bagi keluarga muridku.

Sementara aku, sebagai gurunya, seolah aku kehilangan anakku, meskipun hanya sebentar mengajar, dia pernah beberapa waktu tampak begitu memiliki hubungan yang dekat antara guru dan murid. Dan hari ini, dua hari selang kepergiannya, aku akan merangkumkan kisah dalam bentuk surat dan puisi untuk muridku, Aditya Yoga Pratama.


Surat untukmu, Aditya Yoga Pratama, yang sengaja ibu tuliskan. Agar jika ibu membaca, secara tidak langsunh ibu ingin selalu mendoakan kepergianmu, Nak.

Aditya, bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu dapat menjawab semua pertanyaan Munkar dan Nakir di alam kubur. Kamu masih ingat kan yang pernah ibu ajarkan? Kamu harus menjawab Tuhanmu Allah, Nabimu Muhammad, Kitabmu al-Quran, Agamamu Islam, Temanmu Kaum Muslim, dan Musuhmu Syaithon. Ibu yakin, doa keluarga dan saudara-suadaramu, termasuk para pendidikmu akan memudahkan jalanmu di alam barzah.

Aditya, mengingatmu selalu mengingatkan ibu tentang masa awal-awal mengajar. Sering kali kamu tidak membawa lembar bacaan sholat. Dan saat itu kamu pernah dihukum sendirian, lalu kamu memgeluh lelah, dan ibu memberikan tempat duduk ibu untukmu, sedangkan ibu memilih berdiri. Kamu juga harus ingat, ibu pernah menyita handphonemu sekali, lalu kamu berucap, "Ibu Annis, aku tidak akan mengulangi lagi." Setelah itu, hari-hari berikutnya kamu menyimpan handphone di dalam ranselmu.

Tetapi Jumat lalu Aditya, kamu membawa lembar bacaan sholat, kamu membacanya dengan khusyuk, dan ibu sama sekali tidak menegurmu. Kamu begitu tenang dan baik dalam membaca, bahkan selama pelajaran pun kamu begitu fokus. Setiap ibu bertanya kamu menjawabnya dengan baik, sungguh ibu melihatmu begitu teduh saat itu. Kamu juga tiba-tiba ke depan dan menjabat tangan ibu saat pergantian pelajaran, padahal hal itu tidak biasa dilakukan olehmu. Kamu berikan senyum ikhlasmu, dan kamu ucapkan salam sekaligus terima kasih dengan fasih.

Ibu selalu ingat cita-citamu yang ingin menjadi prajurit negara. Hingga akhirnya pada hari Sabtu, 24 Februari 2018, Ibu sudah menganggapmu sebagai prajurot negara. Sebab di hari itu, kamu telah usah menjadi prajurit Allah dalam menjalankan hidup di dunia yang fana, yang harus diusaikan karena memang sudah saatnya kamu tidak dapat menghalau peluru kematian, dan kamu harus mempertanggungjawabkan keprajuritanmu di hadapan Allah.

Percayalah Nak, meski kamu di alam sana, banyak doa yang mengalir untukmu begitu kuat. Banyak kenangan yang orang-orang simpan saat bersamamu, termasuk Ibu. Sudah saatnya kamu khusyuk memeluk Allah setelah menuntaskan tugas-tugas prajuritmu. Kamu sudah tenang, anakku sayang. Kamu mengajarkan Ibu tentang mendidik dengan kesabaran, hingga ibu mampu memastikanmu tanpa kesalahan dalam pelajaran Ibu sebelum akhirnya kamu benar-benar melepas ikatan hidup di dunia.

Mosha, 26 Februari 2018, 09.11 WIB.

Setangkai Detik Terakhir

Langit gelap, Mikail hadir bersama Izrail
Dan medan perangmu usai pada mesin yang pasrah atas takdir
Sementara orang-orang lalu lalang bertanya pada sepi

Tubuhmu mulai renta, jalanan menghentikan denyutmu
Bangunan berpenghuni jas putih menyuarakanmu pada Kuasa-Nya
Isak tangis dan ngeri berhamburan

Matamu terpejam, Izrail kembali ke pelukan Tuhan
Usai tugasmu dalam sempurnanya juangmu
Langkahmu telah menuju barzah

Mosha, 26 Februari 2018, 09.42.

2 komentar:

  1. Jadi sedih bu,teringat masa masa pertemanan saya dg dia..semoga alm tenang disana bersama Allah Swt

    BalasHapus
  2. Doakan dia selalu, semoga Allah menjaganya dalam roudhotul jannah. ..

    BalasHapus