Menulis judul adalah pekerjaan yang berat menurutku. Sering kali aku telah menulis berlembar-lembar, tapi terkadang tidak ada judul yang terlintas. Dan untuk tulisan renyah ini, aku sengaja mengambil salah satu lirik lagu Kabar Damai milik Anto Baret. Aku harap, kamu tak akan bosan membaca tulisan ini sampai akhir.
Aku retropus (baca:suporter). Entah darimana datangnya keinginan ini, yang jelas aku sudah terbiasa menghirup udara tribun. Udara yang dipenuhi nyanyian kebersamaan, meski sesekali disematkan hujatan rasis. Udara yang dipenuhi kreativitas, yang kadang tidak semua mau diajak kreatif. Dan udara yang dipenuhi kepulan asap, serta aroma-aroma menegangkan. Hanya orang-orang yang terpanggil jiwanya saja yang mau berada di tempat ini, salah satunya aku. Sekali lagi, jangan pernah ditanya mengapa aku mau menjalani kisah ini, karena bagiku ini adalah cinta. Cinta adalah dakwah yang sanggup merelakan apapun. Sedangkan manusia tidak bisa memilih dengan siapa atau kepada siapa dia akan jatuh cinta. Termasuk aku, mencintai Arema bukanlah rencanaku, tetapi takdir.
Sudah lama aku terlelap dari hiruk pikuk dunia retropus. Bukan karena cinta ini surut, melainkan karena cinta ini harus dirawat, cinta ini harus memiliki ciri khas yang baik, dan cinta ini harus tetap kuat. Tetapi, beberapa waktu lalu seorang teman mengajakku untuk keluar dari zona merawat cinta, sebab cinta harus ditunjukkan, katanya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk basah dalam lautan retropus, meski lautan ini tengah menelan racun dari pimpinan tertinggi yang mengatur jalannya sepak bola di negeri ini.
Hiruk pikuk retropus kembali kuhirup di bawah lereng pegunungan yang mengelilingi rumah Sidharta Gautama. Sebuah chants digemakan di sana, sedang lagu-lagu memori kesakitan dan cinta terus digaungkan. Dan para retropus menjalankan kebiasaannnya, kebiasaan yang kadang dianggap miring, tetapi itulah bentuk ikatan kekeluargaan. Yang mengajarkan tentang kabar damai, kabar bawasannya kami saudara, kami akan selalu hidup berdampingan. Begitu pula di tribun, tidak ada yang perlu diperdebatkan dari perbedaan, semua lebur menjadi satu yang senyawa.
Seperti mata itu. Iya, aku menemukan mata yang indah di antara ratusan retropus yang mengelilingi ruang kosong di sekitar duduk dan berdiriku. Mata yang membuatku kuyup dalam debar sepanjang kepulanganku dari tatapannya. Meski sebenarnya mata itu terkesan sederhana, tetapi kelopaknya seolah kehidupan yang teduh, yang tidak aku temukan dari beberapa retropus yang kukenal. Mata itu benar-benar puisi dalam bahasaku.
Detik pun malih menit, sementara menit malih jam dan malih menjadi hari di mana aku kembali bertemu mata itu lagi. Mata yang tajam, yang kata orang menyimpan sosok perempuan yang tengah ia kejar. Tetapi bagiku tak selalu jadi masalah yang perlu kudengar, aku masih tersandera dalam mata itu. Dan dari mata itu, aku kemudian mengenal setiap sudut anggota tubuhnya. Bahkan raut wajahnya, sebuah ekspresi tajam tapi mampu meluluhkan jika menyunggingkan sedikit senyum. Sejak saat itulah, aku mulai memikirkan mata tersebut, merindukan tatapannya yang tajam, dan menghitung segenap perjumpaan. Termasuk ketika hiruk pikuk dunia retropusku di hadapkan dengan penyambutan punggawa Singo Edan, aku mengiyakan dengan harapan bertemu mata itu. Tetapi seseorang telah menyampaikan bahwa mata itu tidak akan datang, mata itu tengah disibukkan dengan urusan pekerjaan. Ya, aku mengerti, sedikit banyak aku telah memahami pekerjaannya. Namun aku masih berharap mata itu datang kembali.
Prosesi penyambutan sangatlah menguras tenaga dan pikiran, kami dituntut untuk serba cepat jika ingin memberi kenangan, menyanyikan chants, berburu foto, dan hal-hal lazim yang sering dilakukan retropus kepada idolanya. Aku melihat orang-orang mulai berebut mengejar idolanya masing-masing, meminta foto selfie, atau foto bebarengan sebelum para pemain beranjak masuk ke kamar masing-masing untuk menunaikan hajat pemulihan tubuh. Sementara aku hanya menjalankan tugas yang diamanahkan komunitas. Entah kenapa, aku tidak antusias untuk berfoto, mungkin karena tidak ada lagi pemain kebanggaanku, Ahmad Bustomi.
"Mbak, kamu nggak pingin foto?" seseorang dengan membawa kamera DSLR bertanya padaku.
"Enggak, nggak ada Ahmad Bustomi atau Hanif Sjahbandi, jadi buat apa?" jawabku dengan nada datar.
"Ya udah mbak, yang penting penyambutannya lancar. Semangat, mbak," sahut laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi dan hidung yang mancung menikung.
Aku memutuskan mundur, mencari tempat berteduh, dengan masih menyaksikan para retropus lain memenui galeri handphone mereka dengan foto-foto bersama idola.
"Mbak, aku sih nggak antusias ngejar pemain, aku sudah puas foto-foto waktu mereka datang ke Magelang," ucap perempuan berkerudung biru yang tengah sibuk memikirkan bimbingan skripsi menurut curhatannya beberapa menit sebelum penyambutan.
Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya, dan wajahnya teramat berseri saat menceritakan pengalamannya bertemu punggawa Singo Edan saat di Magelang. Semoga bahagiamu terkenang dalam hati, doaku untuknya. Kemudian, lama aku berteduh sambil bercengkerama membicarakan keadaan sepak bola kebanggaan, mataku terseret di sudut selatan. Seseorang dengan bahu yang tegap tengah memarkirkan motor, dan aku percaya, seseorang itu adalah pemilik mata yang puisi. Pelan-pelan wajahnya menoleh, langkahnya berjalan, dan kemudian menjabat tanganku.
"Katanya kamu kerja," tiba-tiba secepat kilat ada kalimat keluar dari bibirku.
"Iya, tapi sudah selesai, makanya terus ke sini," jawabnya dengan suara nyaring dan senyum paling magis.
Jantungku seolah berhenti sejenak, kemudian debarnya dua kali lipat dari debar biasanya. Dan mataku tak sedikit pun ingin beralih dari matanya. Seolah membawa pesan bahwa setiap pertemuan memiliki kabarnya masing-masing.
Tetapi mata itu ternyata semakin puisi, semakin tajam, dan semakin magis di dalam tribun. Tepat pada saat pertandingan Arema FC melawan PS Tira, aku mendapati mata itu semakin memikat. Awalnya aku ingin berdiri di sampingnya, namun aku ingat bahwa aku mengajak tiga orang temanku, yang akhirnya membuat mata itu terpisah jauh dari pandangku. Hingga selepas babak pertama aku ingin berlari mencari mata itu. Hanya saja aku mendapati langkahnya menuju balik dinding kepastian kemenangan. Pandangan mata itu semakin jauh, semakin memberi sedikit luka yang damai.
Aku kemudian fokus menyaksikan laga pertandingan sampai usai dengan kemenangan 1-0 untuk tim kebanggaan. Suatu hasil yang cukup membahagiakan bagi para retropusnya. Kemudian sejenak aku menatap langit yang mulai jingga sambil berjalan keluar tribun. Tiba-tiba rentetan kata lahir menjadi puisi. Sesegera mungkin kukeluarkan handphone dan mengetik kata yang muncul. Setelah beberapa hari aku disibukkan dengan pekerjaan mengajar, aku sanggup menulis puisi lagi. Dan puisi itu lahir dari mata itu, mata yang tajam, mata yang memanggil titik rindu dalam hati yang kosong, dan mata yang memberikan kabar dalam setiap pertemuan-pertemuan kecil. Ya, ternyata benar, cinta adalah dakwah, rela memberikan apapun, sebab ia percaya cinta masih memiliki kabar damai, sekalipun akhirnya masih menyimpan tanya. Dan, Arema memang tidak bisa menukar seberapa jauh retropus away, seberapa mahal uang yang dikeluarkan, tetapi tanyakan pada hati, kebahagian apa yang telah Arema beri. Bagiku, mata itu adalah balasan Arema atas dakwah cintaku.
Keren, membuat pembaca menjadi penasaran dengan setiap kalimatnya.. good luck.
BalasHapusHaha penasaran kaya gimana coba??
Hapus