Gambar disamping adalah salah satu gambar yang termuat dalam artikel loop.co.id.
Televisi bukan lagi barang mewah. Hampir semua rumah
memilikinya, bahkan ada yang lebih dari satu. Komunikasi elektronik ini,
menyajikan pelbagai ragam tontonan, mulai anak-anak sampai dewasa. Selain itu,
bisa sebagai bahan hiburan ketika kepenatan pikiran menghampiri.
Tayangan televisi tidak serta merta ditayangkan secara bebas, begitu pula dengan iklan. Sesuai pemaparan (Afifi, 2010) kedua tayangan tersebut harus berpedoman pada aturan-aturan P3 ( Pedoman Perilaku Penyiaran ) dan SPS ( Standar Program Siaran ) yang disusun KPI. Bahwasannya setiap tayangan diwajibkan menghindari beberapa jenis pelanggaran : kekerasan dan sadisme, seksualitas, pelanggaran kepentingan publik, pelecehan agama, pelecehan kelompok marginal, pelecehan norma kesopanan dan kasusilaan, mistik dan supranatural, pelanggaran hak anak, remaja dan perempuan, pelanggaran dan ketentuan tentang rokok, dan aturan-aturan lainnya.
Dampak Televisi dan Cara Menanggulanginya
Banyak beredar persepsi masyarakat soal televisi, entah itu
sebagai berita yang menimbulkan doktrin, sinetron perusak moral anak, acara
pendidikan yang hilang, dan masih banyak lagi. Apalagi jika anak SD menonton
tayangan kekerasan dalam kurun waktu penimbul ketagihan. Persepsi itu semakin
menguatkan bagi masyarakat.
Hal tersebut perlu kita cek kembali kebenarannya, sebab pembahasan
(Hutapea,
2010) berdasarkan komputasi analisis Korelasi Product Moment dari
Karl Pearson dengan program SPSS versi 13.50 for Windows, koefisien korelasi
antara intensitas menonton tayangan yang mengandung kekerasan di televisi
dengan perilaku agresif anak sekolah dasar sebesar 0,138 dan p > 0,05,
sehingga hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada hubungan antara intensitas
menonton tayangan yang mengandung kekerasan di televisi dengan perilaku agresif
pada anak sekolah dasar di Jakarta Pusat dalam hal ini diterima.
Kendati demikian, doktrin dampak negatif tayangan televisi tetap
melekat. Memang, sesuai penjelasan (Medrano,
Aierbe, & Orejudo, 2010) televisi memainkan peran penting dalam
sosialisasi, tidak hanya dalam akuisisi informasi, tetapi juga melalui adopsi
model perilaku yang ditularkan melalui kemunculan karakter diprogram yang
berbeda. Tetapi menurut saya, dampak tersebut bisa diatasi ketika orang tua
memberikan pengawasan maupun bimbingan saat anak sedang menonton televisi.
Selain pengawasan, pemberian batas waktu menonton televisi juga
diperlukan. Mungkin dua jam setiap harinya akan lebih baik, atau mungkin
sebelum dua jam mampu menyudahi. Usahakan dalam pembimbingan saat menonton,
amati baik-baik yang ditonton. Jika dapat menimbulkan degradasi moral, lebih
baik orang tua memindahkan ke channel lain. Oleh karenanya, kita dituntut
objektif ketika memilih, serta sanggup menimbang tayangan mana yang layak dan
memberi kesan pada anak-anak.
Referensi
Afifi, S. (2010).
Tayangan Bermasalah dalam Program Acara Televisi di Indonesia. Jurnal Ilmu
Komunikasi, VIII(3), 246-262.
Hutapea, B.
(2010). STUDI KORELASI INTENSITAS MENONTON TAYANGAN YANG MENGANDUNG KEKERASAN
DI TELEVISI DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA ANAK. Jurnal Ikon, III(2), 1-7.
Medrano, C.,
Aierbe, A., & Orejudo, S. (2010). Television Viewing Profile and
Values:Implications for Moral Education. Journal Revista de Psicodidáctica,
XV(1), 57-76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar