Senin, 01 Januari 2018

Buku dan Ruh yang Berdiam pada Buku

Ketika aku mendengar kata buku, aku mulai memahami arti menahan nafsu keuangan. Sebab perempuan begitu mudah dilumuri hal-hal baru yang mencengangkan. Kecuali mereka yang ingin hidup dalam lukisan peradaban. Lukisan yang sengaja ia bangun di taman halaman. Bertemu rekan-rekannya yang lebih dulu bersenda gurau dengan awal keberhasilan. 

Buku telah mengajarkan banyak huruf, kata, dan kalimat. Ia adalah bahasa yang terlipat tinta emas dari orang-orang yang mengabarkan kenangan teramat. Ada pula yang mengabarkan sejarah, peristiwa tentang tumbuhnya pemahaman di setiap cerita yang terdengar dari sudut-sudut terlambat. 

Tak jarang orang-orang berjalan beriringan, kemudian buta pada lembaran-lembaran putih yang mulai kotor dengan suci. Tetapi orang-orang memilih menatap dan berlalu pergi. Sementara mereka para pelukis peradaban, berbondong-dondong dalam kepasrahan yang mati. Sebab kami adalah manusia pengais perjalanan abadi. 

Kehadiran buku lahir dari rahim-rahim berbeda. Rahim prematur, rahim normal, rahim terlambat,  bahkan rahim yang kehangatannya biasa. Kemudian pelukis peradaban paling mujur diperkenankan untuk memilih, untuk bercengkerama dengan ruh-ruh yang menentukan arahnya. Suatu jalan yang membawanya pada dunia atau petaka. Peristiwa yang mengajaknya hanya menjadi pembaca tanpa memahami kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar