Ketika aku mendengar kata buku, aku mulai memahami arti menahan nafsu keuangan. Sebab perempuan begitu mudah dilumuri hal-hal baru yang mencengangkan. Kecuali mereka yang ingin hidup dalam lukisan peradaban. Lukisan yang sengaja ia bangun di taman halaman. Bertemu rekan-rekannya yang lebih dulu bersenda gurau dengan awal keberhasilan.
Buku telah mengajarkan banyak huruf, kata, dan kalimat. Ia adalah bahasa yang terlipat tinta emas dari orang-orang yang mengabarkan kenangan teramat. Ada pula yang mengabarkan sejarah, peristiwa tentang tumbuhnya pemahaman di setiap cerita yang terdengar dari sudut-sudut terlambat.
Tak jarang orang-orang berjalan beriringan, kemudian buta pada lembaran-lembaran putih yang mulai kotor dengan suci. Tetapi orang-orang memilih menatap dan berlalu pergi. Sementara mereka para pelukis peradaban, berbondong-dondong dalam kepasrahan yang mati. Sebab kami adalah manusia pengais perjalanan abadi.
Kehadiran buku lahir dari rahim-rahim berbeda. Rahim prematur, rahim normal, rahim terlambat, bahkan rahim yang kehangatannya biasa. Kemudian pelukis peradaban paling mujur diperkenankan untuk memilih, untuk bercengkerama dengan ruh-ruh yang menentukan arahnya. Suatu jalan yang membawanya pada dunia atau petaka. Peristiwa yang mengajaknya hanya menjadi pembaca tanpa memahami kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar