Minggu, 13 Juni 2021

Aku, Pasien Covid-19 yang Berjuang Melahirkan Anakku

 "Tidak ada kisah paling indah, kecuali di dalamnya ada pelajaran perihal sabar," kalimat ini kutanam dalam-dalam pada hati dan pikiranku. Sebab hanya dengan huznudzan pada Allah swt, hidup akan terasa tenang.

Sabtu, 12 Juni 2021 adalah hari yang membuatku seolah kehilangan separuh dunia. Sebab, hari itu aku harus rapid tes antibody untuk persiapan melahirkan. Hasil rapid tes dinyatakan reaktif, dan dilanjutkan swab PCR. Sampai ba'da maghrib, ibuku ditelfon pihak puskesmas, bawasannya aku positif Covid-19 dengan kategori OTG. Sehingga harus dirujuk di rumah sakit dan diwajibkan untuk caesar. Seketika aku lemah, aku menangis sambil istighfar. Pikiranku kacau. Sempat bergumam, "kenapa harus ada Covid-19?"

Hampir setengah jam aku kalut dalam kecewa. Kemudian aku mencoba menenangkan hati, menarik napas panjang, dan kembali menata pikiranku. Banyak orang-orang sekelilingku memberi semangat, tak terkecuali suamiku. Meski enggan bicara, tapi aku tahu, dalam hatinya cintanya begitu dalam pada anak kami yang telah kami nantikan kehadirannya dua tahun ini. Perlahan aku mulai bangkit, aku mulai mengafirmasi pikiranku untuk kuat. Sebab aku akan menjadi ibu, bukankah ibu adalah pemimpin perang jihadnya untuk menyelamatkan buah hati? Jika aku lemah dalam memimpin, banyak kemungkinan pasti terjadi. Tetapi jika aku kuat, In Syaa Allah banyak kuasa Allah swt dialirkan pada jalan jihadku.

Pukul 21.15 aku dijemput ambulance puskesmas untuk dibawa ke rumah sakit. Suamiku, ibu dan ayahku mengikuti dari belakang dengan mengendarai motor. Sesampainya di sana, aku masuk ruang tenda terlebih dahulu, untuk ganti baju oprasi, pemasangan infus, dan cek kesehatan serta kesiapan. Baru setelah pukul 00.00, aku diizinkan masuk ke ruang oprasi. Pengantar hany boleh menunggu di luar dan di dalam tenda Covid-19, tidak bisa masuk area rumah sakit.

Bagaimana rasanya caesar? Mungkin itu yang pertama kali dipikirkan kebanyakan orang jika mengalami kisah sepertiku. Tapi aku tidak, aku terlanjur pasrah dengan ketentuan Allah, dan menganggap ini bagian dari perjuanganku untuk generasi Qur'aniku. Dokter dan perawat pun menyiapkan segala keperluan caesar, termasuk obat bius yang akan mendarat pada tubuhku agar tidak merasakan sakit saat persalinan caesar dimulai.

Sepanjang persalinan, aku harus mengatur napas. Perawat sudah was-was jika tiba-tiba asmaku kambuh di tengah perjalanan persalinan. Alhamdulillah tidak sama sekali, aku sehat. Sepanjang tarikan napasku, kuembuskan lafadz Allah dengan senyuman kecil di bibirku. Dengan harapan, anakku bisa merasakan bahwa aku sangat mencintainya. Tapi tiba-tiba, aku seperti mengantuk, dalam hitungan detik saja kemudian lafadzku berubah Alhamdulillah. Aku bingung, kenapa begitu. Ingin kuubah menjadi Allah lagi, tetap kembali pada Alhamdulillah. Kemudian dokter dan perawat menyampaikan bahwa anakku telah lahir dengan sehat.

Namun, aku tak dapat melihat anakku, bahkan mendengar tangisnya aku tak bisa. Kami langsung dipisahkan untuk saling melindungi. Sungguh ini berat memang, tapi ini salah satu cara Allah mendidikku dan anakku menjadi insan yang menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong kami. Lebih dari itu, Allah benar-benar mengujiku, menanyakan padaku seberapa ingin derajatku diangkat dalam keimananku terhadap-Nya. Sebab, setelah Allah beri dua tahun terindah untuk menantikan buah hati, kini Allah menunda pertemuan kami sampai selesainya masa isolasiku.

Bibirku hanya deras kalimat Alhamdulillah setelahnya. Alhamdulillah karena anakku lahir sehat dan berjenis kelamin perempuan. Alhamdulillah anakku lahir caesar dengan lancar. Alhamdulillah anakku memiliki berat badan dan tinggi badan yang sesuai aturan. Alhamdulillah anakku lahir pada tanggal yang tepat, 13 Juni 2021. Tepat, karena setiap 13 Juni selalu diperingati sebagai hari bersejarah umat Islam. Karena pada tanggal ini, umat Islam kala itu mampu menakhlukan Andalusia di bawah kepemimpinan Thariq bin Ziyad. Alhamdulillah. Semoga kelak anakku mampu meneruskan perjuangan para mujahid mujahidah sebelum kami.

Hal lain yang lebih membuat orang selalu bertanya-tanya, yakni bagaimana kolostrum didapatkan? Hmm, memang gizi terbaik anak setelah lahir adalah kolostrum pertama dari ASI. Tapi, apa boleh buat, keadaan mengharuskan anakku untuk minum susu formula lebih dulu. Alhamdulillahnya, ASI ku juga belum keluar. Bisa jadi Allah akan mengeluarkan ketika alat-alat sudah komplit. Sebab, setelah berkonsultasi dengan perawat jaga bayi, aku diperbolehkan memberi ASI untuk anakku dari hasil pompa ASI-ku. Hanya saja, hasil pompa ASI nantinya harus masuk ke dalam botol, kemudian di sterilkan menggunakan alat. Alhandulillah, dengan cepat suamiku memesan alat untuk menyeterilkan ASI, sementara perempuan hebat di ibukota sana mengirimkan paket pompa ASI. Masya Allah, Tabarakallah, banyak yang sayang sama anakku. Aku benar-benar terharu, dan semakin percaya, bahwa Allah selalu menitipkan senyum atas semua sabar yang dilalui hamba-Nya.

Ke depan, aku tidak peduli, ketika orang-orang menyalahkan kenapa aku terpapar Covid-19. Karena kita tak pernah tahu, kapan diberi nikmat sehat dan sakit. Jika sehat berarti harus kuat, jika sakit berarti harus ikhlas, agar dosa-dosa lampau berguguran. Aku tidak peduli ketika orang-orang menanyakan kenapa susu formula, tidak mencari donor ASI. Karena untuk menjaga semuanya, sebab barangkali ada yang siap mendonorkan, tapi apakah kita bisa memastikan bahwa si pendonor bebas Covid-19 atau penyakit lain? Sementara banyak penderita Covid-19 yang berstatus sebagai OTG, termasuk aku. Semua bentuk pertanyaan maupun pernyataan yang tidak sesuai dengan pengalaman hidup si penanya pasti akan selalu mampir, tapi hanya seorang ibu dari anak tersebutlah yang paling memahami kondisi mana yang harus ia pilih.

Hmm, mungkin sebatas ini dulu ceritaku. Sebagai awalan untuk membagikan pentingnya sabar kepada para pembaca. Lain waktu, aku akan menuliskan kisah-kisah selanjutnya yang masih berkaitan dengan melahirkan di tengah pandemi Covid-19. Sebelum usai, kubisikkan pada kalian nama anakku. Aku dan suamiku memberi nama, "Rahyang Khawla ZenHuri Asfa," yang bermakna, "Perempuan surga yang kuat dalam beragama, welas asih dalam bersikap, pemberani dalam berdakwah, dan selalu dalam keadaan suci." Aamiin. Doakan kami, agar Allah selalu memberi kami kesehatan dan kejutan-kejutan baik untuk menetapkan kami pada keimanan yang kuat. Terimakasih :)


Minggu, 06 Juni 2021

Tentang Menikah

Menikah tidak cukup dengan kata, "saya terima nikahnya," lalu kemudian di-sah-kan para saksi. Tapi lebih dari itu.

Tulisan ini berangkat dari kisah para orang-orang sekitar yang kerap menanyakan pada saya, kira-kira si penanya kalau menikah bagaimana. Setiap kali pertanyaan ini hadir, rasanya saya ingin tertawa, tapi itu pasti menyakitkan. Hanya saja terkesan lucu, jika si ingin menikah menanyakan sudah pantas belum untuk menikah. Karena bagi saya, menikah adalah pilihan dan hak masing-masing orang. Yang tahu mampu tidaknya juga setiap orang kan? Jadi, mohon berpikirlah yang matang untuk menikah.

Menikah bukan soal diburu waktu, bukan karena dipaksa orang lain, bukan demi balas budi, bukan untuk mengikuti trend nikah muda, atau hal lainnya. Menikah sangat-sangat lebih dari ini. Sebab jika dalam menikah tidak ada persiapan yang matang, bisa jadi setiap kisah dalam pernikahan tidak bisa dibedakan antara konsumsi publik dan pribadi.

Pada momen kali ini, saya akan berbagi cerita, kenapa saya memutuskan menikah dan enggan menyuruh orang lain untuk segera menikah. Atau sekadar bertanya, "kapan kamu nikah?" Ini adalah hal tabu yang mulai membudaya di masyarakat menurut saya. Namun sayangnya tak banyak masyarakat yang memahami, sehingga sering banyak rasa tersinggung lahir dari pertanyaan kapan menikah.

Kalau saya, jujur punya target menikah usia 26 tahun. Karena dulu saya membayangkan setelah lulus S1, saya bisa melanjutkan S2 di negeri dua benua. Saya sudah ikut kursus bahasa, yang itu sangat menguras tenaga dan pikiran. Sebab setiap pulang sekolah, saya haru menempuh perjalanan kurang lebih 40 menit untuk sampai ke tempat kursus bahasa. Saya juga telah menyiapkan semua berkas-berkas yang harus saya lampirkan untuk mendapatkan beasiswa S2. Qodarullah, H-7 sebelum pembukaan beasiswa, ada lelaki yang meminta saya kepada orangtua untuk dijadikan teman hidupnya. Lantas apakah saya langsung sholat istikhoroh untuk menentukan pilihan? Tidak. Sebab selama saya hidup, saya selalu percaya bahwa apa yang saya jalani berdasar ketetapan Allah, itu yang terbaik untuk saya. Hingga akhirnya saya menikah di usia 23 tahun, dan mengurungkan niat untuk melanjutkan S2 di negeri dua benua.

Lantas apakah dalam menikah itu adalah keindahan? Bagi saya tidak, menurut realitasnya. Tapi bagi degup batin, adalah keindahan. Sebab, dalam menikah berisikan ibadah yang tak pernah usai. Dan ibadah akan bernilai indah ketika hari demi hari kita menjalani dengan syukur dan ikhlas. Apapun kisahnya, apapun rintangannya, apapun bahagianya. Setiap rumah tangga memiliki kisahnya masing-masing.

Tetapi, persoalan menikah yang paling mendasar adalah menyiapkan mental dan rohani. Karena jika mental tanpa rohani akan layu, sedang rohani tanpa mental akan lemah. Bayangkan saja, jika mental kita kuat hidup dengan mandiri, tapi tidak punya rohani, bisa dipastikan ketika bertengkar dengan suami, kita merasa bahwa kita masih sanggup hidup mandiri tanpa suami. Begitu pula jika rohani kita kuat, menerima apapun aturan suami, lama kelamaan mental kita yang akan menjadi penyakit karena diberi paket-paket luka. Hal ini disebabkan manusia satu dengan lainnya berbeda, tidak bisa dipaksa dalam satu aturan, melainkan diajarkan saling melengkapi.

Ingat, menikah adalah menyelaraskan dua kepala dan menyatukan dua keluarga. Akan banyak perbedaan, akan banyak pro dan kontra. Jika masih ada rasa egois, niscaya dalam rumah tangga akan damai, karena isinya pasti ingin menangnya masing-masing. 

Jadi, untuk yang sedang bertanya sudah layakkah menikah, mohon duduk sebentar. Kemudian tarik napas panjang, dan pikirkalah, sudahkah menjadi pribadi yang semeleh atau belum. Semeleh adalah pribadi yang tidak mudah meluapkan amarah, mampu mengendalikan kisah hidup dan mampun memperbanyak syukur serta istighfar untuk menjadikan keluarga yang benar-benar tuntas menjalankan ibadah setiap harinya.

Dan ibadah itu mudah, ketika kita berusaha mengenal Allah lebih dekat, dan mengenal firmannya yang akan menjadi obat bagi ibadah kita jika sewaktu-waktu hampir tak terjamah. Pahamilah, menikah bukan soal siapa yang tercepat, tapi siapa yang telah diberi kesiapan secara mental dan rohani. Jadi, menikahlah menurut pikiran dan hati masing-masing, bukan menutut pandangan orang lain.

Jumat, 28 Mei 2021

#1

Kadang berbagi tentang hidup itu perlu, asalkan bermanfaat dan bernilai memotivasi. Meski sebenarnya bingung mau nulis judul apa, tapi tulisan ini akan berkisah tentang seberapa besar sebuah keluarga harus bersabar menanti buah hati.

Perkenalkan, aku perempuan yang tengah mengandung anak pertama, setelah menanti selama 1,5 tahun. 

April 2019, aku menikah dengan lelaki yang merupakan teman sekomunitas selama tujuh tahun. Tapi, tidak terbersit satu pikiranpun yang mengajak isi kepalaku bahwa suatu saat kami akan menikah. Pada akhirnya, begitulah jodoh, kami menikah tanpa pacaran, dan mengenal lebih dalam selepas menikah.

Jangan ditanya sering ada masalah atau tidak, sebab semua keluarga, baik lama dan baru, masalah adalah bumbu terbaik untuk mencapai tingkat ibadah pernikahan. Jika mampu menyelesaikan, maka Allah akan naikkan derajatnya. 

Kami, adalah sepasang yang dibilang sangat berbeda. Suamiku terlalu santai, dan aku terlalu cekatan, dalam artian aku tidak suka menunda suatu kepentingan yang memang itu harus dikerjakan sebagai suatu kebutuhan. Namun, untuk urusan memiliki buah hati, mungkin aku yang lebih santai. Meski suamiku juga santai, tapi awalnya sempat memiliki keinginan yang lebih. Barulah setelah aku bicara, "bahwa Allah sedang mencari waktu yang tepat untuk menjadikan kita seorang ibu dan ayah. Karena barangkali, ada kisah-kisah kita yang belum dirapikan, sehingga Allah tidak ingin anak kita menanggung beban jika seandainya kita punya salah yang belum kita leburkan."

Hanya saja, suamiku selalu membelaku ketika ada yang bertanya dengan nada dan kalimat yang kurang sopan, seperti, "kok lama sih isinya?" Rasanya pingin kujawab, isi roti atau isi bakwan. Tapi suamiku selalu menjawab, "bisa ditanyakan sama yang membuat hidup."

Pertanyaan ini selalu aku dengar, apalagi setiap pulang ke rumah suami, entah tetangga, entah kerabat, entah saudara, selalu bertanya hal demikian. Tapi kami bodo amat. Ada yang lebih parah, karena pertanyaannya, "apa ga paham cara berhubungan? Kok selama ini?" Hmm, harus ya hal tabu urusan cinta dapur suami istri dipertanyakan?

Kalau di tempat tinggalku, biasanya hanya kujawab, "disuruh pacaran dulu, kan nikahnya ga pacaran." Soalnya dulu pas kami menikah, ada yang sampai ke telinga orang-orang, bahwa kami sudah pacaran lama, sering berduaan. Ada pula yang mengabarkan aku hamil di luar nikah. Nah, bagi yang mengabarkan seperti itu, ketika tanya kenapa aku belum hamil, jawabku, "ntar dikira hamil duluan." Itung-itung sekalian nampar sama omongannya yang ga benar. Hehe.

Singkat cerita, setelah 1,5 tahun menunggu, bulan Oktober 2020 aku dinyatakan hamil, karena haid terakhir bulan September 2020. Banyak yang nanya, amalannya apa, pada intinya sering-sering minta doa sama orang yang tepat, karena siapa tahu, satu di antara mereka doanya dikabulkan Allah swt. Dan yang paling utama adalah, membaca sholawat jibril minimal 100 kali dalam sehari. Sholallah 'alla muhammad, sholallah 'alaihi wasalim. Mudah kan sholawatnya? Sementara yang paling dasar adalah berhuznudzan pada Allah swt. Yakinlah, bahwa Allah memberi nikmat ketika hambanya memang benar-benar siap menerima nikmat. Apalagi nikmat yang bernilai amanah. Sebab syukurnya juga harus berlipat.

Lantas, aku ngapain aja bersama suami nunggu 1,5 tahun? Hmm, banyak hal yang kami lakukan. Dari menyambung silaturahim dengan kerabat-kerabat, sampai merencanakan dan memimpikan kehidupan untuk masa depan. Kan boleh bermimpi, siapa tahu dengan usaha dapat terwujud. Tapi yang lebih penting adalah, menghabiskan waktu untuk piknik cerdas. Kenapa harus cerdas? Biar pikniknya membawa manfaat, bukan madhorot. Seperti kami, yang sukanya piknik ke tempat bersejarah.

Baiklah, mungkin ini sesi #1 dulu. Esok akan ada sesi #2, kelanjutan yang lebih seru. Sebagai penutup, sejak dinyatakan hamil, aku sudah  jatuh cinta dengan buah hatiku meski kami belum bertemu. Sepenggal cintaku, telah kurangkum dalam beberapa paragraf yang alhamdulillah menjadi juara II dalam lomba menulis surat untuk calon buah hati yang diadakan oleh @sensitif_id. Selamat membaca.



Selasa, 04 Desember 2018

Pertemuan Ini Adalah Kabar




Menulis judul adalah pekerjaan yang berat menurutku. Sering kali aku telah menulis berlembar-lembar, tapi terkadang tidak ada judul yang terlintas. Dan untuk tulisan renyah ini, aku sengaja mengambil salah satu lirik lagu Kabar Damai milik Anto Baret. Aku harap, kamu tak akan bosan membaca tulisan ini sampai akhir.

Aku retropus (baca:suporter). Entah darimana datangnya keinginan ini, yang jelas aku sudah terbiasa menghirup udara tribun. Udara yang dipenuhi nyanyian kebersamaan, meski sesekali disematkan hujatan rasis. Udara yang dipenuhi kreativitas, yang kadang tidak semua mau diajak kreatif. Dan udara yang dipenuhi kepulan asap, serta aroma-aroma menegangkan. Hanya orang-orang yang terpanggil jiwanya saja yang mau berada di tempat ini, salah satunya aku. Sekali lagi, jangan pernah ditanya mengapa aku mau menjalani kisah ini, karena bagiku ini adalah cinta. Cinta adalah dakwah yang sanggup merelakan apapun. Sedangkan manusia tidak bisa memilih dengan siapa atau kepada siapa dia akan jatuh cinta. Termasuk aku, mencintai Arema bukanlah rencanaku, tetapi takdir.

Sudah lama aku terlelap dari hiruk pikuk dunia retropus. Bukan karena cinta ini surut, melainkan karena cinta ini harus dirawat, cinta ini harus memiliki ciri khas yang baik, dan cinta ini harus tetap kuat. Tetapi, beberapa waktu lalu seorang teman mengajakku untuk keluar dari zona merawat cinta, sebab cinta harus ditunjukkan, katanya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk basah dalam lautan retropus, meski lautan ini tengah menelan racun dari pimpinan tertinggi yang mengatur jalannya sepak bola di negeri ini.

Hiruk pikuk retropus kembali kuhirup di bawah lereng pegunungan yang mengelilingi rumah Sidharta Gautama. Sebuah chants digemakan di sana, sedang lagu-lagu memori kesakitan dan cinta terus digaungkan. Dan para retropus menjalankan kebiasaannnya, kebiasaan yang kadang dianggap miring, tetapi itulah bentuk ikatan kekeluargaan. Yang mengajarkan tentang kabar damai, kabar bawasannya kami saudara, kami akan selalu hidup berdampingan. Begitu pula di tribun, tidak ada yang perlu diperdebatkan dari perbedaan, semua lebur menjadi satu yang senyawa.

Seperti mata itu. Iya, aku menemukan mata yang indah di antara ratusan retropus yang mengelilingi ruang kosong di sekitar duduk dan berdiriku. Mata yang membuatku kuyup dalam debar sepanjang kepulanganku dari tatapannya. Meski sebenarnya mata itu terkesan sederhana, tetapi kelopaknya seolah kehidupan yang teduh, yang tidak aku temukan dari beberapa retropus yang kukenal. Mata itu benar-benar puisi dalam bahasaku.

Detik pun malih menit, sementara menit malih jam dan malih menjadi hari di mana aku kembali bertemu mata itu lagi. Mata yang tajam, yang kata orang menyimpan sosok perempuan yang tengah ia kejar. Tetapi bagiku tak selalu jadi masalah yang perlu kudengar, aku masih tersandera dalam mata itu. Dan dari mata itu, aku kemudian mengenal setiap sudut anggota tubuhnya. Bahkan raut wajahnya, sebuah ekspresi tajam tapi mampu meluluhkan jika menyunggingkan sedikit senyum. Sejak saat itulah, aku mulai memikirkan mata tersebut, merindukan tatapannya yang tajam, dan menghitung segenap perjumpaan. Termasuk ketika hiruk pikuk dunia retropusku di hadapkan dengan penyambutan punggawa Singo Edan, aku mengiyakan dengan harapan bertemu mata itu. Tetapi seseorang telah menyampaikan bahwa mata itu tidak akan datang, mata itu tengah disibukkan dengan urusan pekerjaan. Ya, aku mengerti, sedikit banyak aku telah memahami pekerjaannya. Namun aku masih berharap mata itu datang kembali.

Prosesi penyambutan sangatlah menguras tenaga dan pikiran, kami dituntut untuk serba cepat jika ingin memberi kenangan, menyanyikan chants, berburu foto, dan hal-hal lazim yang sering dilakukan retropus kepada idolanya. Aku melihat orang-orang mulai berebut mengejar idolanya masing-masing, meminta foto selfie, atau foto bebarengan sebelum para pemain beranjak masuk ke kamar masing-masing untuk menunaikan hajat pemulihan tubuh. Sementara aku hanya menjalankan tugas yang diamanahkan komunitas. Entah kenapa, aku tidak antusias untuk berfoto, mungkin karena tidak ada lagi pemain kebanggaanku, Ahmad Bustomi.

"Mbak, kamu nggak pingin foto?" seseorang dengan membawa kamera DSLR bertanya padaku.

"Enggak, nggak ada Ahmad Bustomi atau Hanif Sjahbandi, jadi buat apa?" jawabku dengan nada datar.

"Ya udah mbak, yang penting penyambutannya lancar. Semangat, mbak," sahut laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi dan hidung yang mancung menikung.

Aku memutuskan mundur, mencari tempat berteduh, dengan masih menyaksikan para retropus lain memenui galeri handphone mereka dengan foto-foto bersama idola.

"Mbak, aku sih nggak antusias ngejar pemain, aku sudah puas foto-foto waktu mereka datang ke Magelang," ucap perempuan berkerudung biru yang tengah sibuk memikirkan bimbingan skripsi menurut curhatannya beberapa menit sebelum penyambutan.

Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya, dan wajahnya teramat berseri saat menceritakan pengalamannya bertemu punggawa Singo Edan saat di Magelang. Semoga bahagiamu terkenang dalam hati, doaku untuknya. Kemudian, lama aku berteduh sambil bercengkerama membicarakan keadaan sepak bola kebanggaan, mataku terseret di sudut selatan. Seseorang dengan bahu yang tegap tengah memarkirkan motor, dan aku percaya, seseorang itu adalah pemilik mata yang puisi. Pelan-pelan wajahnya menoleh, langkahnya berjalan, dan kemudian menjabat tanganku.

"Katanya kamu kerja," tiba-tiba secepat kilat ada kalimat keluar dari bibirku.

"Iya, tapi sudah selesai, makanya terus ke sini," jawabnya dengan suara nyaring dan senyum paling magis.

Jantungku seolah berhenti sejenak, kemudian debarnya dua kali lipat dari debar biasanya. Dan mataku tak sedikit pun ingin beralih dari matanya. Seolah membawa pesan bahwa setiap pertemuan memiliki kabarnya masing-masing.

Tetapi mata itu ternyata semakin puisi, semakin tajam, dan semakin magis di dalam tribun. Tepat pada saat pertandingan Arema FC melawan PS Tira, aku mendapati mata itu semakin memikat. Awalnya aku ingin berdiri di sampingnya, namun aku ingat bahwa aku mengajak tiga orang temanku, yang akhirnya membuat mata itu terpisah jauh dari pandangku. Hingga selepas babak pertama aku ingin berlari mencari mata itu. Hanya saja aku mendapati langkahnya menuju balik dinding kepastian kemenangan. Pandangan mata itu semakin jauh, semakin memberi sedikit luka yang damai.

Aku kemudian fokus menyaksikan laga pertandingan sampai usai dengan kemenangan 1-0 untuk tim kebanggaan. Suatu hasil yang cukup membahagiakan bagi para retropusnya. Kemudian sejenak aku menatap langit yang mulai jingga sambil berjalan keluar tribun. Tiba-tiba rentetan kata lahir menjadi puisi. Sesegera mungkin kukeluarkan handphone dan mengetik kata yang muncul. Setelah beberapa hari aku disibukkan dengan pekerjaan mengajar, aku sanggup menulis puisi lagi.  Dan puisi itu lahir dari mata itu, mata yang tajam, mata yang memanggil titik rindu dalam hati yang kosong, dan mata yang memberikan kabar dalam setiap pertemuan-pertemuan kecil. Ya, ternyata benar, cinta adalah dakwah, rela memberikan apapun, sebab ia percaya cinta masih memiliki kabar damai, sekalipun akhirnya masih menyimpan tanya. Dan, Arema memang tidak bisa menukar seberapa jauh retropus away, seberapa mahal uang yang dikeluarkan, tetapi tanyakan pada hati, kebahagian apa yang telah Arema beri. Bagiku, mata itu adalah balasan Arema atas dakwah cintaku.

Rabu, 28 Februari 2018

40 Prajurit Penantang Tapal Batas

"Seperti daun, para manusia tumbuh, menghijau lalu gugur. Seperti itulah, setiap perjuangan memiliki titik pulangnya masing-masing."

Ada yang getir memikirkan nasib yang terus digerus usia, menerka-nerka bagaimana langkah memberi sumbangsih terindah dalam kehidupan. Termasuk aku. Tetapi, getir itu pudar seiring bertemunya aku dengan saudara Generasi Bakti Negeri. Kamilah, salah satu tangan Tuhan yang ingin memberi harapan bagi anak negeri, bahwa mimpi adalah tempat berpijak untuk tetap hidup dan menjadi inspirator bagi diri yang kadang lelah. Kami memiliki tubuh berjumlah 40, kami memiliki tujuan membangun negeri, dan kami memiliki hal yang menjadi ciri khas bahwa tubuh kami layak disebut pengabdi.

Baiklah, akan kuawali cerita kami dengan awal kata, "SEBATIK." Kata tersebut adalah nama salah satu pulau yang ada di Indonesia, pulau di perbatasan utara wilayah Kalimantan Utara. Pulau dengan dua kepemilikan negara, Indonesia dan Malaysia, sekaligus pulau yang menjadi tempat pilihan kami mengabdikan diri untuk berbagi ilmu bersama masyarakat perbatasan. Kata kedua, "MENGABDI." Sebuah kata yang secara nalurinya dapat diartikan bahwa kami hendak menjadi abdi, menjadi pelayan bagi masyarakat, pelayan yang akan membawa masyarakat lebih memiliki pintu untuk memasuki lorong keindahan hidup. Sementara kata ketiga, "LILLAH." Kata yang diambil dalam bahasa Arab, memiliki arti karena Allah. Sebab jika bicara lelahnya kami mengabdi, itu sungguh lelah. Kami jauh-jauh dari Yogyakarta, kami dididik oleh amal usaha Muhammadiyah, lalu kami dilepas jauh ke Sebatik untuk menjadi anak panah Muhammadiyah. Ya, anak panah yang siap memberikan tikaman kebermanfaatan dalam mewujudkan masyarakat bangsa menuju masyarakat madani. Tetapi kami harus siap dan yakin, mengubah semua lelah kami menjadi keikhlasan.

Perjalanan kami dimulai di kampus muda mendunia, kami dididik, kami dibentuk, dan kami diseleksi kemampuan dalam mengabdi. Pernyataan lulusnya kami menjadi 40 prajurit bukan hal yang menyenangkan, melainkan hal yang menambah amanah dalam pundak kami. Banyak hal yang kami persiapkan untuk menuju medan pengabdian, dari penggalangan dana, membangun mitra kerja dengan masyarakat sekitar kampus untuk menjadi pusat percobaan kegiatan pengabdian, sampai ke pelatihan-pelatihan untuk memanajemen kepemimpinan dan kapabilitas kami sebagai pengabdi. Hingga akhirnya, kami dipertemukan dengan getaran yang akan mengantar kami menuju Sebatik. Kami benar-benar multi memantapkan hati sejak saat itu.

"Kalian sudah siap mengabdi?" tegas Brama, ketua Generasi Bakti Negeri Saudara Sebatik Project 3, ketika kami sampai di Sebatik dan mengadakan musyawarah program kerja yang harus dijalankan untuk tiga wilayah kelurahan.

"Kami siap!" jawab seluruh anggota.

"Kalau begitu, jadilah pemuda yang tangguh! Karena kalian di sini mampu menjadi prajurit, meski tanpa sekolah prajurit. Dan kalian harus berkontribusi untuk program pengandian kalian," sahut Jauhari, salah seorang anggota yang diamanahi sebagai ketua kelompok salah satu kelurahan.

"Kita harus siap dipecah menjadi tiga, dan kita harus terus berkoordinasi," lanjut Brama.

"Siap!" semua kembali menjawab dengan serempak.

Sejak intruksi tersebut, kami mulai menjadi hari pertama sampai hari kelimapuluh mengabdi untuk masyarakat Sebatik. Segala pelajaran hidup telah kami dapatkan. Sementara aku, hanyalah sebagian tubuh 40 prajurit penantang tapal batas yang merangkum kisah dalam tulisan, mengabadikannya dalam beberapa media, sebab aku ingin mengajarkan pada pemuda lain, bahwa hidup adalah tentang berbagi dan berperilaku baik.

Teruntuk kita, 40 Prajurit Penantang Tapal Batas, biar kutulis puisi sebagai penjaga bahwa kita pernah melewati masa-masa sulit yang mengantarkan kita pada cahaya.

40 Prajurit Penantang Tapal Batas

Mikail datang ; tubuh kita usaikan mengabdi
Anak-anak hujan berhamburan di ujung-ujung jalan
Sungai Limau, Bukit Harapan, Maspul, pecah segala yang tertahan
Meneguk rindu yang mulai berdiam

Detik malih menit, menit menjelma jam, dan jam menemui hari
Arak-arakan kenang memilih kita sebagai gua pertapaan
Tentang perjuangan dan medan yang memaksa kita berperang
Sebelum peluru mengambil bagian darah Indonesia

Selanjutnya, kita adalah panah yang berhamburan
Sebab bersama mengajarkan kokoh lalu terpisah
Kita memiliki langkah masing-masing
Menjadi pengabdi bagi tanah yang terpijak

Pulanglah, rapikan kembali debar ikhlasmu
Pulanglah, tekunkan kembali nadi ibadahmu
Pulanglah, pikirkan kembali langkah lanjutmu
Pulanglah, teguhkan kembali detak abdimu


Prambanan, 1 Maret 2018.

Senin, 26 Februari 2018

Sekotak Rahmat Dari XII IPA 2

Ayat-ayat al-Quran bergema dari detik ke detik, mengalun dari bibir siswa siswi SMA Muhammadiyah 1 Prambanan. Seketika jalanan ruang kelas XII serupa lorong-lorong bagi para penghafal al-Quran. Satu per satu ayat mereka hafalkan, saling menyimak satu sama lain, dan saling memberi kekuatan jika salah seorang hendak menyetorkan hafalan.

"Bu, kenapa harus 15 surat hafalannya? Kenapa tidak 10? Bukankah itu memberatkan murid?" tiba-tiba salah seorang murid bertanya padaku sambil menunjukkan ekspresi paling berharap. Aku hanya tersenyum, dan kulanjutkan kembali memanggil para penghafal sesuai urutannya.

Secara sekilas, jumlah hafalan tersebut memberatkan, di saat ujian-ujian praktik yang lain menghantui di hari-hari berikutnya. Tetapi bagiku, mana mungkin Tuhan yang begitu Agung mewahyukan al-Quran kepada nabi Muhammad Saw akan memberi jalan yang sulit bagi para penghafalnya? Justru aku yakin, bahwa Tuhan memudahkan setiap usaha jika hamba-Nya ingin menghafalkan ayat-ayat-Nya.

"Muhammad Azidan, sekarang giliranmu," aku memanggil absen nomor dua. Kemudian datanglah muridku dengan postur tubuh tinggi, dan warna kulit yang terbilang bening.

"Sekarang baca al-Quran dulu kan, Bu? Atau hafalan terjemah, atau mungkin hafalan surat?" logat dan nada bicaranya saat bertanya menjadi pengenal jika dia berasal dari luar Jawa.

"Baca Quran dulu ya," jawabku sambil membukakan salah satu ayat dalam surat an-Nisa untuk dibacanya.

Mendengar bacaannya dalam tiga ujian praktik tentang al-Quran, ternyata mampu menyudutkanku dalam diam. Iya, diam-diam merasa ada getaran mampir ketika ayat Tuhan dibacakan dalam keadaan makhrojul huruf, tajwid, dan kelancaran yang hampir sempurna, dan diam-diam merasa bangga mengenal murid sepertinya.

"Selanjutnya Muhammad Vian," setelah Azidan selesai, aku memanggil urutan selanjutnya. Kupikir bacaannya biasa saja, tetapi justru makhrojul hurufnya terdengar jelas dan lantang. Ah, rasanya jika seluruh peserta ujian praktik al-Quran macam mereka berdua, aku sebagai guru benar-benar damai saat menilai.

Ujian tersebut dimulai pukul 13.00 dan diakhiri pukul 13.30, dalam waktu yang sebentar aku hanya mampu menguji sekitar empat anak. Sementara 20 anak lainnya dilanjutkan esok hari. Lagi-lagi seoarang murid menghampiriku, Okta namanya. Meski aku baru dua minggu sebagai pendidik di sekolah tersebut dan tidak mendidik kelas XII, aku hafal sekali dengan Okta. Perempuan yang menurutku energik dan sebagai penghubung pertanyaan teman-temannya seputar ujian praktik al-Quran.

"Bu, kami mau ujian hari ini saja, kalau besok-besok bisa jadi kami lupa karena begitu banyaknya yang harus dihafal. Boleh ya bu?" Nada bicaranya bergitu berharap, mengetuk hatiku menjadi iba. Kulihat seluruh raut wajah di kelas tersebut memang mengharapkanku mengiyakan jawaban.

"Tapi, kalian harus les bahasa Inggris," jawabku datar.

"Terus gimana bu? Kami nggak mau besok-besok, kami maunya hari ini selesai bu," permintaan Okta yang mewakili teman-temannya semakin menyudutkanku untuk mengiyakan.

"Bagaimana kalau setelah les? Ibu tunggu kalian di kantor guru, nanti kalau sudah selesai les, ibu masuk ke ruang kelas kalian lagi," ucapanku yang ternyata membuat mereka berwajah sumringah dan bersemangat. Aku pun membalas mereka dengan senyum yang turut bahagia, sambil kulangkahkan kaki menuju kantor guru.

Hari itu aku ingat betul hari Senin, hari yang biasanya kuhadapi dengan puasa Sunnah. Selepas duduk di meja kerjaku, mataku terpekikkan oleh tumpukan tugas kelas X dan XI selama kutinggalkan menguji praktik kelas XII. Aku pun memutuskan mengoreksi pekerjaan mereka sambil berbincang-bincang dengan guru-guru yang masih tersisa.

"Bu Annis, sudah selesai ujian praktiknya?" sapa Bu Utami, guru Kimia yang begitu tenang dalam menyikapi kehidupan. Suaranya begitu halus dan sopan.

"Alhamdulillah, Bu. Tetapi saya masih melanjutkan nanti setelah les, anak-anak minta diselesaikan hari ini. Dan saya merasa mereka lelah jika harus menunda-nunda tugas," kataku mencoba menjelaskan.

"Pak Ikhwan, anak-anak kelas XII ujian praktik sholat fardhunya sudah bisa semua?" tiba-tiba Pak Doni berbicara, seolah menghentikan Bu Utami untuk melanjutkan pembicaraannya.

"Saya kurang tahu, Pak," jawab Pak Ikhwan singkat, karena Pak Ikhwan mengampu ujian praktik tayamum, wudhu, dan sholat jenazah di musholla. Sementara sholat fardhu diampu Bu Wiwik dan ruangannya di sebelah ruanganku.

"Alhamdulillah yang IPA 1 selesai pak, tetapi IPA 2 baru tiga anak. Karena masih banyak yang harus dituntun, jadi Bu Wiwik meminta mereka lebih siap lagi," aku mencoba membantu jawaban Pak Ikhwan.

"Kalau hafalan, mungkin anak-anaknya takut lupa ya Bu Annis? Makanya minta sekarang selesai," Bu Utami kembali melanjutkan pertanyaannya.

"Iya, Bu," aku kembali menjawab dengan singkat, karena saat itu aku sambil mengoreksi pekerjaan siswa.

"Kalau saya, demi menjaga hafalan itu saya membaca suratnya secara berurutan dalam sholat. Alahmdulillah saya hafal urutannya," Pak Doni kembali nimbrung, dan seketika saya termenung. Beliau dengan latar belakang guru Matematika, tetapi berusaha menjaga hafalannya dengan memahami urutannya, sementara saya yang benar-benar guru Agama Islam, tidak pernah melakukan hal demikian. Selain itu, beliau juga lelaki bujang yang menjaga nafsu duniawinya dengan puasa Daud. Mungkin sebagai alarm, bahwa hidup harus mementingkan akhirat. Masya Allah. Gumamku dalam hati.

"Bu Annis, ajarin matematika," tiba-tiba tiga anak kelas X menghampiriku sambil membawa tugas-tugas matematikanya.

Perlahan aku ajari mereka mengerjakan semua soal matematika tersebut. Meskipun aku tidak memiliki kepandaian dalam matematika, tetapi aku selalu berusaha untuk memahami rumus. Alhasil aku gagal mengoreksi tugas-tugas muridku selama kutinggalkan memgurusi ujian praktik kelas XII. Karena anak-anak kelas X yang minta diajarkan matematika selesai tepat ketika saya mau memulai ujian praktik al-Quran untuk kelas XII IPA 2. Dan aku segera bergegas mengurusi ujian praktik kembali.

Baru beberapa anak yang maju, kumandang adzan Ashar memanggil, aku mengajak anak-anak menunaikan ibadah terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka harus berjibaku lagi menghadapi ujian praktik.

"Bu, kan sudah selesai sholat, kita mau ujian lagi. Tapi kami mau beli makan dulu ya, Ibu Annis nitip nggak?" ucap Nurul Huda dengan nada datar.

"Ibu puasa," jawabku singkat.

"Apa?? Ibu puasa? Ya Allah," sahut Tika, salah satu muridku yang terlihat selalu tersenyum.

"Ibu maafin kami ya, Ibu rela lembur demi kami. Bu, nanti minta gajinya ditambahin saja," beberapa murid bersahutan saling berebut menjawab.

"Ibu tetap absen pulang jam 14.00."

"Ya Allah, Bu," semua murid-murid kaget.

"Bagi Ibu, absen Ibu jam berapa tidak penting. Yang terpenting kalian ujian dengan bahagia dan yakin bisa menyelesaikan dengan baik," jelasku mencoba menenangkan kegaduhan karena kekagetan mereka.

Lantas di ujung timur samping pintu kelas, tampak beberapa murid membicarakan tentang diriku yang puasa. Entah apa yang mereka rencanakan, aku memilih fokus menguji murid-murid yang belum. Dan akhirnya, setelah puluhan menit kulalui, tibalah giliran murid terakhir. Dia menyelesaikan ujian praktiknya tepat pukul 18.00, enam menit sebelum waktu berbuka puasa. Aku pun bergegas menyiapkan barang-barang ujian praktik untuk kubawa pulang, salah satu anak mengantarku, karena memang hari itu aku jalan kaki. Tetapi, sebelum aku berpamitan, murid-murid kelas XII IPA 2 berbondong-bondong masuk ke kelas. Mereka memberikan sekotak rahmat Allah yang diperantarakan kepada mereka untuk buka puasaku. Rahmat tersebut berisi paket nasi, es buah, dan air mineral. Aku berkomentar bahwa hal tersebut merepotkan bagi mereka. Namun mereka malah menjawab, "Ini tanda terima kasih kami untuk Ibu. Karena Ibu telah sabar merelakan waktunya untuk kami, Ibu tidak mengeluh, dan Ibu menuntun kami untuk sukses ujian praktik." Aku hanya tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih untuk mereka. Terlebih saat situasi dimana aku tidak mengajar kelas XII dan tidak mengenal mereka, kelas XII IPA 2 justru menjadi kelas yang seperti keluarga baru bersama murid-muridku yang hendak melangkah jauh dari sekolah untuk meraih cita-cita mereka.

Perjalanan ujian praktik tersebut, menjadi awal mula keakrabanku dengan kelas XII. Bahkan di saat aku selesai wisuda, beberapa dari mereka sudah menungguku di rumah, mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku. Jadi, kini giliranku yang harus mendoakan kebaikan untuk mereka.

Kepada XII IPA 2

Mimpi adalah waktu yang kau pinang dalam dekap
Sementara waktu adalah takdir antara ibadahmu bersama Tuhan
Dan takdir adalah buah jalanmu yang ikhlas

Di antara kuyup dan kering pikiran
Di antara rindang dan kemaraunya rasa
Di antara terang dan gelapnya ingin

Kau sirius bagiku yang menengadah
Pijarmu hangat, pijarmu kelak merentangkan jarak
Lalu pada munajat malam, kuharap kau terpagar kebaikan

Berjalanlah kau anak-anak didikku
Banyak pintu tempatmu memasuki lorong pilihan
Banyak jendela tempatmu menghirup tentang cita

Kau hanya perlu bersabar
Meneguk jiwa kesungguhan
Dalam langkah tanpa patah

MOSHA, 27 Februari 2018, 09.00.

Sebelum cerita singkat ini kututup, aku ingin membisikkan satu hal pada kalian. "Di depan, jalan terlampau banyak, kalian tidak perlu memilih, kalian hanya perlu menjalani jalan yang terbaik. Dan mimpi kalian, adalah hak otoriter Tuhan untuk mengizinkan, kalian hanya perlu berusaha, lalu mengabarkan pada gurumu ini, bahwa kelak kalian adalah generasi yang patut diperjuangkan."


Minggu, 25 Februari 2018

Tugas Keprajuritanmu Selesai, Aditya Yoga Pratama



Pikiranku mulai lusuh, ketika hujan dengan sengaja mampir di beranda sekolah tempatku mengajar. Aku mengkhawatirkan murid-muridku yang mulai berlalu lalang menuju rumah masing-masing seusai jam pelajaran berakhir. Ada beberapa yang sanggup kutahan untuk sejenak berteduh dan pulang saat hujan telah reda. Tetapi, aku tak melihat salah seorang muridku, Aditya Yoga Pratama, seorang murid dengan postur tubuh tinggi, kulit berwarna sawo matang yang begitu bersih, wajah yang menunjukkan sikap pendiamnya dan mengendarai motor CBR merah. Mungkin sudah pulang lebih dulu, pikirku saat itu.

Beberapa waktu menunggu, hujan pun reda. Aku bergegas mengambil sepeda yang terparkir rapi di area parkir sepeda. Kukayuh sepeda itu menuju rumah yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Namun di tengah perjalanan, di pinggir pertigaan, mataku tertuju pada bangunan sekolahku yang tampak dari belakang. Seolah ada hal magis yang mencoba memanggil, dan aku memgurungkan niat untuk menghiraukan. Aku tetap mengayuh sepedaku, sampai depan rumah, sampai akhirnya ayahku mengagetkanku dengan suara khasnya. "Sudah pulang? Mau ke PDM Sleman ya?" tiba-tiba suara dan raganya sudah di hadapanku sebelum aku mengucap salam. "Assalamu'alaikum. Hari ini aku nggak ke PDM Sleman, padahal sih memang mintanya dari sana aku harus datang setiap kampus Samara. Tapi, kok rasa-rasanya aku harus di rumah saja. Pikiranku kacau," jawabku dengan nada lesu.

"Ya sudah, kalau begitu kamu ke Rumah Dinas Pejabat Polda saja buat ngajar privat mengaji," tegas ayahku untuk mengingatkan semua tugas-tugasku. Dan entah mengapa, jawabanku tetap sama, aku tidak pergi ke mana-mana, aku ingin di ruamh. Lantas, ragaku yang mulai lelah kuajak menuju kamar. Naasnya, ketika hendak melakukan sholat ashar sebelum mengistirahatkan diri, mukena yang sedang kupakai tertiup angin dan menyampar gelas yang ada di atas almari. Gelas itu pecah, gelas lambang persaudaraan semasa SMK dulu. Lagi-lagi, situasi tersebut membawa pikiranku kembali mrmikirkan SMA Muhammadiyah 1 Prambanan.  Aku mencoba menerka penyebabnya, karena aku merasa satu hari tersebut telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Tetapi satu hal yang sanggup kuingat, tentang keinginanku mengajak murid-muridku menerapkan waktu istirahat sebagai waktu ibadah, dan rencananya kelas XI IPA 1 yang ingin kuajak memulainya.

Tiba-tiba, notif group MOSHA yang berisikan guru dan karyawan muncul di layar handphoneku. Sekilas aku melihat dari Bapak Kepala Sekolah. Membaca pesan tersebut, aku langsung terdiam, batinku hanya berulang mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un. Ya, di dalam pesan tersebut tertulis jelas, bahwa Aditya Yoga Pratama telah diambil dari dunia oleh Sang Kholik lantaran kecelakaan. Seketika aku langsung memberi kabar ke Makruf, teman seangkatan Adit, yang aku tahu mereka sangat akrab, dan sering kali Makruf memasang foto profil Whatsapp bersama Adit. Hampir seluruh murid-murid yang kukabari tidak percaya, mereka kaget bukan main, karena di hari tersebut Adit begitu ceria. Aku pun kembali terdiam, menarik napas panjang, dan berucap dalam hati, "Allah, terima kasih atas kesempatan untukku mengenal muridku, Aditya. Semoga Engkau memamggilnya dalam khusnul khotimah, karena Aditya selesai menuntut ilmu."

"Malah melamun," sahut ibuku.
"Muridku, Aditya Yoga Pratama meninggal karena kecelakaan, rumahnya di Wukirharjo," jawabku dengan nada goyah dan menahan air mata.
"Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un," ucap kedua orangtuaku.
"Sebentar, Ibu tanya sama teman Ibu, siapa tahu kenal," lanjut Ibuku. Tetapi sebelum menanyakan, ada pesan masuk di Whatsapp yang menyatakan bahwa anak dari teman ibuku meninggal, dan ternyata Aditya muridku yang dimaksud. Seorang anak tunggal yang begitu taat dengan orangtuanya. Sungguh, ini seperti ujian berlipat bagi keluarga muridku.

Sementara aku, sebagai gurunya, seolah aku kehilangan anakku, meskipun hanya sebentar mengajar, dia pernah beberapa waktu tampak begitu memiliki hubungan yang dekat antara guru dan murid. Dan hari ini, dua hari selang kepergiannya, aku akan merangkumkan kisah dalam bentuk surat dan puisi untuk muridku, Aditya Yoga Pratama.


Surat untukmu, Aditya Yoga Pratama, yang sengaja ibu tuliskan. Agar jika ibu membaca, secara tidak langsunh ibu ingin selalu mendoakan kepergianmu, Nak.

Aditya, bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu dapat menjawab semua pertanyaan Munkar dan Nakir di alam kubur. Kamu masih ingat kan yang pernah ibu ajarkan? Kamu harus menjawab Tuhanmu Allah, Nabimu Muhammad, Kitabmu al-Quran, Agamamu Islam, Temanmu Kaum Muslim, dan Musuhmu Syaithon. Ibu yakin, doa keluarga dan saudara-suadaramu, termasuk para pendidikmu akan memudahkan jalanmu di alam barzah.

Aditya, mengingatmu selalu mengingatkan ibu tentang masa awal-awal mengajar. Sering kali kamu tidak membawa lembar bacaan sholat. Dan saat itu kamu pernah dihukum sendirian, lalu kamu memgeluh lelah, dan ibu memberikan tempat duduk ibu untukmu, sedangkan ibu memilih berdiri. Kamu juga harus ingat, ibu pernah menyita handphonemu sekali, lalu kamu berucap, "Ibu Annis, aku tidak akan mengulangi lagi." Setelah itu, hari-hari berikutnya kamu menyimpan handphone di dalam ranselmu.

Tetapi Jumat lalu Aditya, kamu membawa lembar bacaan sholat, kamu membacanya dengan khusyuk, dan ibu sama sekali tidak menegurmu. Kamu begitu tenang dan baik dalam membaca, bahkan selama pelajaran pun kamu begitu fokus. Setiap ibu bertanya kamu menjawabnya dengan baik, sungguh ibu melihatmu begitu teduh saat itu. Kamu juga tiba-tiba ke depan dan menjabat tangan ibu saat pergantian pelajaran, padahal hal itu tidak biasa dilakukan olehmu. Kamu berikan senyum ikhlasmu, dan kamu ucapkan salam sekaligus terima kasih dengan fasih.

Ibu selalu ingat cita-citamu yang ingin menjadi prajurit negara. Hingga akhirnya pada hari Sabtu, 24 Februari 2018, Ibu sudah menganggapmu sebagai prajurot negara. Sebab di hari itu, kamu telah usah menjadi prajurit Allah dalam menjalankan hidup di dunia yang fana, yang harus diusaikan karena memang sudah saatnya kamu tidak dapat menghalau peluru kematian, dan kamu harus mempertanggungjawabkan keprajuritanmu di hadapan Allah.

Percayalah Nak, meski kamu di alam sana, banyak doa yang mengalir untukmu begitu kuat. Banyak kenangan yang orang-orang simpan saat bersamamu, termasuk Ibu. Sudah saatnya kamu khusyuk memeluk Allah setelah menuntaskan tugas-tugas prajuritmu. Kamu sudah tenang, anakku sayang. Kamu mengajarkan Ibu tentang mendidik dengan kesabaran, hingga ibu mampu memastikanmu tanpa kesalahan dalam pelajaran Ibu sebelum akhirnya kamu benar-benar melepas ikatan hidup di dunia.

Mosha, 26 Februari 2018, 09.11 WIB.

Setangkai Detik Terakhir

Langit gelap, Mikail hadir bersama Izrail
Dan medan perangmu usai pada mesin yang pasrah atas takdir
Sementara orang-orang lalu lalang bertanya pada sepi

Tubuhmu mulai renta, jalanan menghentikan denyutmu
Bangunan berpenghuni jas putih menyuarakanmu pada Kuasa-Nya
Isak tangis dan ngeri berhamburan

Matamu terpejam, Izrail kembali ke pelukan Tuhan
Usai tugasmu dalam sempurnanya juangmu
Langkahmu telah menuju barzah

Mosha, 26 Februari 2018, 09.42.