Selasa, 04 Desember 2018

Pertemuan Ini Adalah Kabar




Menulis judul adalah pekerjaan yang berat menurutku. Sering kali aku telah menulis berlembar-lembar, tapi terkadang tidak ada judul yang terlintas. Dan untuk tulisan renyah ini, aku sengaja mengambil salah satu lirik lagu Kabar Damai milik Anto Baret. Aku harap, kamu tak akan bosan membaca tulisan ini sampai akhir.

Aku retropus (baca:suporter). Entah darimana datangnya keinginan ini, yang jelas aku sudah terbiasa menghirup udara tribun. Udara yang dipenuhi nyanyian kebersamaan, meski sesekali disematkan hujatan rasis. Udara yang dipenuhi kreativitas, yang kadang tidak semua mau diajak kreatif. Dan udara yang dipenuhi kepulan asap, serta aroma-aroma menegangkan. Hanya orang-orang yang terpanggil jiwanya saja yang mau berada di tempat ini, salah satunya aku. Sekali lagi, jangan pernah ditanya mengapa aku mau menjalani kisah ini, karena bagiku ini adalah cinta. Cinta adalah dakwah yang sanggup merelakan apapun. Sedangkan manusia tidak bisa memilih dengan siapa atau kepada siapa dia akan jatuh cinta. Termasuk aku, mencintai Arema bukanlah rencanaku, tetapi takdir.

Sudah lama aku terlelap dari hiruk pikuk dunia retropus. Bukan karena cinta ini surut, melainkan karena cinta ini harus dirawat, cinta ini harus memiliki ciri khas yang baik, dan cinta ini harus tetap kuat. Tetapi, beberapa waktu lalu seorang teman mengajakku untuk keluar dari zona merawat cinta, sebab cinta harus ditunjukkan, katanya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk basah dalam lautan retropus, meski lautan ini tengah menelan racun dari pimpinan tertinggi yang mengatur jalannya sepak bola di negeri ini.

Hiruk pikuk retropus kembali kuhirup di bawah lereng pegunungan yang mengelilingi rumah Sidharta Gautama. Sebuah chants digemakan di sana, sedang lagu-lagu memori kesakitan dan cinta terus digaungkan. Dan para retropus menjalankan kebiasaannnya, kebiasaan yang kadang dianggap miring, tetapi itulah bentuk ikatan kekeluargaan. Yang mengajarkan tentang kabar damai, kabar bawasannya kami saudara, kami akan selalu hidup berdampingan. Begitu pula di tribun, tidak ada yang perlu diperdebatkan dari perbedaan, semua lebur menjadi satu yang senyawa.

Seperti mata itu. Iya, aku menemukan mata yang indah di antara ratusan retropus yang mengelilingi ruang kosong di sekitar duduk dan berdiriku. Mata yang membuatku kuyup dalam debar sepanjang kepulanganku dari tatapannya. Meski sebenarnya mata itu terkesan sederhana, tetapi kelopaknya seolah kehidupan yang teduh, yang tidak aku temukan dari beberapa retropus yang kukenal. Mata itu benar-benar puisi dalam bahasaku.

Detik pun malih menit, sementara menit malih jam dan malih menjadi hari di mana aku kembali bertemu mata itu lagi. Mata yang tajam, yang kata orang menyimpan sosok perempuan yang tengah ia kejar. Tetapi bagiku tak selalu jadi masalah yang perlu kudengar, aku masih tersandera dalam mata itu. Dan dari mata itu, aku kemudian mengenal setiap sudut anggota tubuhnya. Bahkan raut wajahnya, sebuah ekspresi tajam tapi mampu meluluhkan jika menyunggingkan sedikit senyum. Sejak saat itulah, aku mulai memikirkan mata tersebut, merindukan tatapannya yang tajam, dan menghitung segenap perjumpaan. Termasuk ketika hiruk pikuk dunia retropusku di hadapkan dengan penyambutan punggawa Singo Edan, aku mengiyakan dengan harapan bertemu mata itu. Tetapi seseorang telah menyampaikan bahwa mata itu tidak akan datang, mata itu tengah disibukkan dengan urusan pekerjaan. Ya, aku mengerti, sedikit banyak aku telah memahami pekerjaannya. Namun aku masih berharap mata itu datang kembali.

Prosesi penyambutan sangatlah menguras tenaga dan pikiran, kami dituntut untuk serba cepat jika ingin memberi kenangan, menyanyikan chants, berburu foto, dan hal-hal lazim yang sering dilakukan retropus kepada idolanya. Aku melihat orang-orang mulai berebut mengejar idolanya masing-masing, meminta foto selfie, atau foto bebarengan sebelum para pemain beranjak masuk ke kamar masing-masing untuk menunaikan hajat pemulihan tubuh. Sementara aku hanya menjalankan tugas yang diamanahkan komunitas. Entah kenapa, aku tidak antusias untuk berfoto, mungkin karena tidak ada lagi pemain kebanggaanku, Ahmad Bustomi.

"Mbak, kamu nggak pingin foto?" seseorang dengan membawa kamera DSLR bertanya padaku.

"Enggak, nggak ada Ahmad Bustomi atau Hanif Sjahbandi, jadi buat apa?" jawabku dengan nada datar.

"Ya udah mbak, yang penting penyambutannya lancar. Semangat, mbak," sahut laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi dan hidung yang mancung menikung.

Aku memutuskan mundur, mencari tempat berteduh, dengan masih menyaksikan para retropus lain memenui galeri handphone mereka dengan foto-foto bersama idola.

"Mbak, aku sih nggak antusias ngejar pemain, aku sudah puas foto-foto waktu mereka datang ke Magelang," ucap perempuan berkerudung biru yang tengah sibuk memikirkan bimbingan skripsi menurut curhatannya beberapa menit sebelum penyambutan.

Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya, dan wajahnya teramat berseri saat menceritakan pengalamannya bertemu punggawa Singo Edan saat di Magelang. Semoga bahagiamu terkenang dalam hati, doaku untuknya. Kemudian, lama aku berteduh sambil bercengkerama membicarakan keadaan sepak bola kebanggaan, mataku terseret di sudut selatan. Seseorang dengan bahu yang tegap tengah memarkirkan motor, dan aku percaya, seseorang itu adalah pemilik mata yang puisi. Pelan-pelan wajahnya menoleh, langkahnya berjalan, dan kemudian menjabat tanganku.

"Katanya kamu kerja," tiba-tiba secepat kilat ada kalimat keluar dari bibirku.

"Iya, tapi sudah selesai, makanya terus ke sini," jawabnya dengan suara nyaring dan senyum paling magis.

Jantungku seolah berhenti sejenak, kemudian debarnya dua kali lipat dari debar biasanya. Dan mataku tak sedikit pun ingin beralih dari matanya. Seolah membawa pesan bahwa setiap pertemuan memiliki kabarnya masing-masing.

Tetapi mata itu ternyata semakin puisi, semakin tajam, dan semakin magis di dalam tribun. Tepat pada saat pertandingan Arema FC melawan PS Tira, aku mendapati mata itu semakin memikat. Awalnya aku ingin berdiri di sampingnya, namun aku ingat bahwa aku mengajak tiga orang temanku, yang akhirnya membuat mata itu terpisah jauh dari pandangku. Hingga selepas babak pertama aku ingin berlari mencari mata itu. Hanya saja aku mendapati langkahnya menuju balik dinding kepastian kemenangan. Pandangan mata itu semakin jauh, semakin memberi sedikit luka yang damai.

Aku kemudian fokus menyaksikan laga pertandingan sampai usai dengan kemenangan 1-0 untuk tim kebanggaan. Suatu hasil yang cukup membahagiakan bagi para retropusnya. Kemudian sejenak aku menatap langit yang mulai jingga sambil berjalan keluar tribun. Tiba-tiba rentetan kata lahir menjadi puisi. Sesegera mungkin kukeluarkan handphone dan mengetik kata yang muncul. Setelah beberapa hari aku disibukkan dengan pekerjaan mengajar, aku sanggup menulis puisi lagi.  Dan puisi itu lahir dari mata itu, mata yang tajam, mata yang memanggil titik rindu dalam hati yang kosong, dan mata yang memberikan kabar dalam setiap pertemuan-pertemuan kecil. Ya, ternyata benar, cinta adalah dakwah, rela memberikan apapun, sebab ia percaya cinta masih memiliki kabar damai, sekalipun akhirnya masih menyimpan tanya. Dan, Arema memang tidak bisa menukar seberapa jauh retropus away, seberapa mahal uang yang dikeluarkan, tetapi tanyakan pada hati, kebahagian apa yang telah Arema beri. Bagiku, mata itu adalah balasan Arema atas dakwah cintaku.

Rabu, 28 Februari 2018

40 Prajurit Penantang Tapal Batas

"Seperti daun, para manusia tumbuh, menghijau lalu gugur. Seperti itulah, setiap perjuangan memiliki titik pulangnya masing-masing."

Ada yang getir memikirkan nasib yang terus digerus usia, menerka-nerka bagaimana langkah memberi sumbangsih terindah dalam kehidupan. Termasuk aku. Tetapi, getir itu pudar seiring bertemunya aku dengan saudara Generasi Bakti Negeri. Kamilah, salah satu tangan Tuhan yang ingin memberi harapan bagi anak negeri, bahwa mimpi adalah tempat berpijak untuk tetap hidup dan menjadi inspirator bagi diri yang kadang lelah. Kami memiliki tubuh berjumlah 40, kami memiliki tujuan membangun negeri, dan kami memiliki hal yang menjadi ciri khas bahwa tubuh kami layak disebut pengabdi.

Baiklah, akan kuawali cerita kami dengan awal kata, "SEBATIK." Kata tersebut adalah nama salah satu pulau yang ada di Indonesia, pulau di perbatasan utara wilayah Kalimantan Utara. Pulau dengan dua kepemilikan negara, Indonesia dan Malaysia, sekaligus pulau yang menjadi tempat pilihan kami mengabdikan diri untuk berbagi ilmu bersama masyarakat perbatasan. Kata kedua, "MENGABDI." Sebuah kata yang secara nalurinya dapat diartikan bahwa kami hendak menjadi abdi, menjadi pelayan bagi masyarakat, pelayan yang akan membawa masyarakat lebih memiliki pintu untuk memasuki lorong keindahan hidup. Sementara kata ketiga, "LILLAH." Kata yang diambil dalam bahasa Arab, memiliki arti karena Allah. Sebab jika bicara lelahnya kami mengabdi, itu sungguh lelah. Kami jauh-jauh dari Yogyakarta, kami dididik oleh amal usaha Muhammadiyah, lalu kami dilepas jauh ke Sebatik untuk menjadi anak panah Muhammadiyah. Ya, anak panah yang siap memberikan tikaman kebermanfaatan dalam mewujudkan masyarakat bangsa menuju masyarakat madani. Tetapi kami harus siap dan yakin, mengubah semua lelah kami menjadi keikhlasan.

Perjalanan kami dimulai di kampus muda mendunia, kami dididik, kami dibentuk, dan kami diseleksi kemampuan dalam mengabdi. Pernyataan lulusnya kami menjadi 40 prajurit bukan hal yang menyenangkan, melainkan hal yang menambah amanah dalam pundak kami. Banyak hal yang kami persiapkan untuk menuju medan pengabdian, dari penggalangan dana, membangun mitra kerja dengan masyarakat sekitar kampus untuk menjadi pusat percobaan kegiatan pengabdian, sampai ke pelatihan-pelatihan untuk memanajemen kepemimpinan dan kapabilitas kami sebagai pengabdi. Hingga akhirnya, kami dipertemukan dengan getaran yang akan mengantar kami menuju Sebatik. Kami benar-benar multi memantapkan hati sejak saat itu.

"Kalian sudah siap mengabdi?" tegas Brama, ketua Generasi Bakti Negeri Saudara Sebatik Project 3, ketika kami sampai di Sebatik dan mengadakan musyawarah program kerja yang harus dijalankan untuk tiga wilayah kelurahan.

"Kami siap!" jawab seluruh anggota.

"Kalau begitu, jadilah pemuda yang tangguh! Karena kalian di sini mampu menjadi prajurit, meski tanpa sekolah prajurit. Dan kalian harus berkontribusi untuk program pengandian kalian," sahut Jauhari, salah seorang anggota yang diamanahi sebagai ketua kelompok salah satu kelurahan.

"Kita harus siap dipecah menjadi tiga, dan kita harus terus berkoordinasi," lanjut Brama.

"Siap!" semua kembali menjawab dengan serempak.

Sejak intruksi tersebut, kami mulai menjadi hari pertama sampai hari kelimapuluh mengabdi untuk masyarakat Sebatik. Segala pelajaran hidup telah kami dapatkan. Sementara aku, hanyalah sebagian tubuh 40 prajurit penantang tapal batas yang merangkum kisah dalam tulisan, mengabadikannya dalam beberapa media, sebab aku ingin mengajarkan pada pemuda lain, bahwa hidup adalah tentang berbagi dan berperilaku baik.

Teruntuk kita, 40 Prajurit Penantang Tapal Batas, biar kutulis puisi sebagai penjaga bahwa kita pernah melewati masa-masa sulit yang mengantarkan kita pada cahaya.

40 Prajurit Penantang Tapal Batas

Mikail datang ; tubuh kita usaikan mengabdi
Anak-anak hujan berhamburan di ujung-ujung jalan
Sungai Limau, Bukit Harapan, Maspul, pecah segala yang tertahan
Meneguk rindu yang mulai berdiam

Detik malih menit, menit menjelma jam, dan jam menemui hari
Arak-arakan kenang memilih kita sebagai gua pertapaan
Tentang perjuangan dan medan yang memaksa kita berperang
Sebelum peluru mengambil bagian darah Indonesia

Selanjutnya, kita adalah panah yang berhamburan
Sebab bersama mengajarkan kokoh lalu terpisah
Kita memiliki langkah masing-masing
Menjadi pengabdi bagi tanah yang terpijak

Pulanglah, rapikan kembali debar ikhlasmu
Pulanglah, tekunkan kembali nadi ibadahmu
Pulanglah, pikirkan kembali langkah lanjutmu
Pulanglah, teguhkan kembali detak abdimu


Prambanan, 1 Maret 2018.

Senin, 26 Februari 2018

Sekotak Rahmat Dari XII IPA 2

Ayat-ayat al-Quran bergema dari detik ke detik, mengalun dari bibir siswa siswi SMA Muhammadiyah 1 Prambanan. Seketika jalanan ruang kelas XII serupa lorong-lorong bagi para penghafal al-Quran. Satu per satu ayat mereka hafalkan, saling menyimak satu sama lain, dan saling memberi kekuatan jika salah seorang hendak menyetorkan hafalan.

"Bu, kenapa harus 15 surat hafalannya? Kenapa tidak 10? Bukankah itu memberatkan murid?" tiba-tiba salah seorang murid bertanya padaku sambil menunjukkan ekspresi paling berharap. Aku hanya tersenyum, dan kulanjutkan kembali memanggil para penghafal sesuai urutannya.

Secara sekilas, jumlah hafalan tersebut memberatkan, di saat ujian-ujian praktik yang lain menghantui di hari-hari berikutnya. Tetapi bagiku, mana mungkin Tuhan yang begitu Agung mewahyukan al-Quran kepada nabi Muhammad Saw akan memberi jalan yang sulit bagi para penghafalnya? Justru aku yakin, bahwa Tuhan memudahkan setiap usaha jika hamba-Nya ingin menghafalkan ayat-ayat-Nya.

"Muhammad Azidan, sekarang giliranmu," aku memanggil absen nomor dua. Kemudian datanglah muridku dengan postur tubuh tinggi, dan warna kulit yang terbilang bening.

"Sekarang baca al-Quran dulu kan, Bu? Atau hafalan terjemah, atau mungkin hafalan surat?" logat dan nada bicaranya saat bertanya menjadi pengenal jika dia berasal dari luar Jawa.

"Baca Quran dulu ya," jawabku sambil membukakan salah satu ayat dalam surat an-Nisa untuk dibacanya.

Mendengar bacaannya dalam tiga ujian praktik tentang al-Quran, ternyata mampu menyudutkanku dalam diam. Iya, diam-diam merasa ada getaran mampir ketika ayat Tuhan dibacakan dalam keadaan makhrojul huruf, tajwid, dan kelancaran yang hampir sempurna, dan diam-diam merasa bangga mengenal murid sepertinya.

"Selanjutnya Muhammad Vian," setelah Azidan selesai, aku memanggil urutan selanjutnya. Kupikir bacaannya biasa saja, tetapi justru makhrojul hurufnya terdengar jelas dan lantang. Ah, rasanya jika seluruh peserta ujian praktik al-Quran macam mereka berdua, aku sebagai guru benar-benar damai saat menilai.

Ujian tersebut dimulai pukul 13.00 dan diakhiri pukul 13.30, dalam waktu yang sebentar aku hanya mampu menguji sekitar empat anak. Sementara 20 anak lainnya dilanjutkan esok hari. Lagi-lagi seoarang murid menghampiriku, Okta namanya. Meski aku baru dua minggu sebagai pendidik di sekolah tersebut dan tidak mendidik kelas XII, aku hafal sekali dengan Okta. Perempuan yang menurutku energik dan sebagai penghubung pertanyaan teman-temannya seputar ujian praktik al-Quran.

"Bu, kami mau ujian hari ini saja, kalau besok-besok bisa jadi kami lupa karena begitu banyaknya yang harus dihafal. Boleh ya bu?" Nada bicaranya bergitu berharap, mengetuk hatiku menjadi iba. Kulihat seluruh raut wajah di kelas tersebut memang mengharapkanku mengiyakan jawaban.

"Tapi, kalian harus les bahasa Inggris," jawabku datar.

"Terus gimana bu? Kami nggak mau besok-besok, kami maunya hari ini selesai bu," permintaan Okta yang mewakili teman-temannya semakin menyudutkanku untuk mengiyakan.

"Bagaimana kalau setelah les? Ibu tunggu kalian di kantor guru, nanti kalau sudah selesai les, ibu masuk ke ruang kelas kalian lagi," ucapanku yang ternyata membuat mereka berwajah sumringah dan bersemangat. Aku pun membalas mereka dengan senyum yang turut bahagia, sambil kulangkahkan kaki menuju kantor guru.

Hari itu aku ingat betul hari Senin, hari yang biasanya kuhadapi dengan puasa Sunnah. Selepas duduk di meja kerjaku, mataku terpekikkan oleh tumpukan tugas kelas X dan XI selama kutinggalkan menguji praktik kelas XII. Aku pun memutuskan mengoreksi pekerjaan mereka sambil berbincang-bincang dengan guru-guru yang masih tersisa.

"Bu Annis, sudah selesai ujian praktiknya?" sapa Bu Utami, guru Kimia yang begitu tenang dalam menyikapi kehidupan. Suaranya begitu halus dan sopan.

"Alhamdulillah, Bu. Tetapi saya masih melanjutkan nanti setelah les, anak-anak minta diselesaikan hari ini. Dan saya merasa mereka lelah jika harus menunda-nunda tugas," kataku mencoba menjelaskan.

"Pak Ikhwan, anak-anak kelas XII ujian praktik sholat fardhunya sudah bisa semua?" tiba-tiba Pak Doni berbicara, seolah menghentikan Bu Utami untuk melanjutkan pembicaraannya.

"Saya kurang tahu, Pak," jawab Pak Ikhwan singkat, karena Pak Ikhwan mengampu ujian praktik tayamum, wudhu, dan sholat jenazah di musholla. Sementara sholat fardhu diampu Bu Wiwik dan ruangannya di sebelah ruanganku.

"Alhamdulillah yang IPA 1 selesai pak, tetapi IPA 2 baru tiga anak. Karena masih banyak yang harus dituntun, jadi Bu Wiwik meminta mereka lebih siap lagi," aku mencoba membantu jawaban Pak Ikhwan.

"Kalau hafalan, mungkin anak-anaknya takut lupa ya Bu Annis? Makanya minta sekarang selesai," Bu Utami kembali melanjutkan pertanyaannya.

"Iya, Bu," aku kembali menjawab dengan singkat, karena saat itu aku sambil mengoreksi pekerjaan siswa.

"Kalau saya, demi menjaga hafalan itu saya membaca suratnya secara berurutan dalam sholat. Alahmdulillah saya hafal urutannya," Pak Doni kembali nimbrung, dan seketika saya termenung. Beliau dengan latar belakang guru Matematika, tetapi berusaha menjaga hafalannya dengan memahami urutannya, sementara saya yang benar-benar guru Agama Islam, tidak pernah melakukan hal demikian. Selain itu, beliau juga lelaki bujang yang menjaga nafsu duniawinya dengan puasa Daud. Mungkin sebagai alarm, bahwa hidup harus mementingkan akhirat. Masya Allah. Gumamku dalam hati.

"Bu Annis, ajarin matematika," tiba-tiba tiga anak kelas X menghampiriku sambil membawa tugas-tugas matematikanya.

Perlahan aku ajari mereka mengerjakan semua soal matematika tersebut. Meskipun aku tidak memiliki kepandaian dalam matematika, tetapi aku selalu berusaha untuk memahami rumus. Alhasil aku gagal mengoreksi tugas-tugas muridku selama kutinggalkan memgurusi ujian praktik kelas XII. Karena anak-anak kelas X yang minta diajarkan matematika selesai tepat ketika saya mau memulai ujian praktik al-Quran untuk kelas XII IPA 2. Dan aku segera bergegas mengurusi ujian praktik kembali.

Baru beberapa anak yang maju, kumandang adzan Ashar memanggil, aku mengajak anak-anak menunaikan ibadah terlebih dahulu. Sebelum akhirnya mereka harus berjibaku lagi menghadapi ujian praktik.

"Bu, kan sudah selesai sholat, kita mau ujian lagi. Tapi kami mau beli makan dulu ya, Ibu Annis nitip nggak?" ucap Nurul Huda dengan nada datar.

"Ibu puasa," jawabku singkat.

"Apa?? Ibu puasa? Ya Allah," sahut Tika, salah satu muridku yang terlihat selalu tersenyum.

"Ibu maafin kami ya, Ibu rela lembur demi kami. Bu, nanti minta gajinya ditambahin saja," beberapa murid bersahutan saling berebut menjawab.

"Ibu tetap absen pulang jam 14.00."

"Ya Allah, Bu," semua murid-murid kaget.

"Bagi Ibu, absen Ibu jam berapa tidak penting. Yang terpenting kalian ujian dengan bahagia dan yakin bisa menyelesaikan dengan baik," jelasku mencoba menenangkan kegaduhan karena kekagetan mereka.

Lantas di ujung timur samping pintu kelas, tampak beberapa murid membicarakan tentang diriku yang puasa. Entah apa yang mereka rencanakan, aku memilih fokus menguji murid-murid yang belum. Dan akhirnya, setelah puluhan menit kulalui, tibalah giliran murid terakhir. Dia menyelesaikan ujian praktiknya tepat pukul 18.00, enam menit sebelum waktu berbuka puasa. Aku pun bergegas menyiapkan barang-barang ujian praktik untuk kubawa pulang, salah satu anak mengantarku, karena memang hari itu aku jalan kaki. Tetapi, sebelum aku berpamitan, murid-murid kelas XII IPA 2 berbondong-bondong masuk ke kelas. Mereka memberikan sekotak rahmat Allah yang diperantarakan kepada mereka untuk buka puasaku. Rahmat tersebut berisi paket nasi, es buah, dan air mineral. Aku berkomentar bahwa hal tersebut merepotkan bagi mereka. Namun mereka malah menjawab, "Ini tanda terima kasih kami untuk Ibu. Karena Ibu telah sabar merelakan waktunya untuk kami, Ibu tidak mengeluh, dan Ibu menuntun kami untuk sukses ujian praktik." Aku hanya tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih untuk mereka. Terlebih saat situasi dimana aku tidak mengajar kelas XII dan tidak mengenal mereka, kelas XII IPA 2 justru menjadi kelas yang seperti keluarga baru bersama murid-muridku yang hendak melangkah jauh dari sekolah untuk meraih cita-cita mereka.

Perjalanan ujian praktik tersebut, menjadi awal mula keakrabanku dengan kelas XII. Bahkan di saat aku selesai wisuda, beberapa dari mereka sudah menungguku di rumah, mengucapkan selamat dan mendoakan kebaikan untukku. Jadi, kini giliranku yang harus mendoakan kebaikan untuk mereka.

Kepada XII IPA 2

Mimpi adalah waktu yang kau pinang dalam dekap
Sementara waktu adalah takdir antara ibadahmu bersama Tuhan
Dan takdir adalah buah jalanmu yang ikhlas

Di antara kuyup dan kering pikiran
Di antara rindang dan kemaraunya rasa
Di antara terang dan gelapnya ingin

Kau sirius bagiku yang menengadah
Pijarmu hangat, pijarmu kelak merentangkan jarak
Lalu pada munajat malam, kuharap kau terpagar kebaikan

Berjalanlah kau anak-anak didikku
Banyak pintu tempatmu memasuki lorong pilihan
Banyak jendela tempatmu menghirup tentang cita

Kau hanya perlu bersabar
Meneguk jiwa kesungguhan
Dalam langkah tanpa patah

MOSHA, 27 Februari 2018, 09.00.

Sebelum cerita singkat ini kututup, aku ingin membisikkan satu hal pada kalian. "Di depan, jalan terlampau banyak, kalian tidak perlu memilih, kalian hanya perlu menjalani jalan yang terbaik. Dan mimpi kalian, adalah hak otoriter Tuhan untuk mengizinkan, kalian hanya perlu berusaha, lalu mengabarkan pada gurumu ini, bahwa kelak kalian adalah generasi yang patut diperjuangkan."


Minggu, 25 Februari 2018

Tugas Keprajuritanmu Selesai, Aditya Yoga Pratama



Pikiranku mulai lusuh, ketika hujan dengan sengaja mampir di beranda sekolah tempatku mengajar. Aku mengkhawatirkan murid-muridku yang mulai berlalu lalang menuju rumah masing-masing seusai jam pelajaran berakhir. Ada beberapa yang sanggup kutahan untuk sejenak berteduh dan pulang saat hujan telah reda. Tetapi, aku tak melihat salah seorang muridku, Aditya Yoga Pratama, seorang murid dengan postur tubuh tinggi, kulit berwarna sawo matang yang begitu bersih, wajah yang menunjukkan sikap pendiamnya dan mengendarai motor CBR merah. Mungkin sudah pulang lebih dulu, pikirku saat itu.

Beberapa waktu menunggu, hujan pun reda. Aku bergegas mengambil sepeda yang terparkir rapi di area parkir sepeda. Kukayuh sepeda itu menuju rumah yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Namun di tengah perjalanan, di pinggir pertigaan, mataku tertuju pada bangunan sekolahku yang tampak dari belakang. Seolah ada hal magis yang mencoba memanggil, dan aku memgurungkan niat untuk menghiraukan. Aku tetap mengayuh sepedaku, sampai depan rumah, sampai akhirnya ayahku mengagetkanku dengan suara khasnya. "Sudah pulang? Mau ke PDM Sleman ya?" tiba-tiba suara dan raganya sudah di hadapanku sebelum aku mengucap salam. "Assalamu'alaikum. Hari ini aku nggak ke PDM Sleman, padahal sih memang mintanya dari sana aku harus datang setiap kampus Samara. Tapi, kok rasa-rasanya aku harus di rumah saja. Pikiranku kacau," jawabku dengan nada lesu.

"Ya sudah, kalau begitu kamu ke Rumah Dinas Pejabat Polda saja buat ngajar privat mengaji," tegas ayahku untuk mengingatkan semua tugas-tugasku. Dan entah mengapa, jawabanku tetap sama, aku tidak pergi ke mana-mana, aku ingin di ruamh. Lantas, ragaku yang mulai lelah kuajak menuju kamar. Naasnya, ketika hendak melakukan sholat ashar sebelum mengistirahatkan diri, mukena yang sedang kupakai tertiup angin dan menyampar gelas yang ada di atas almari. Gelas itu pecah, gelas lambang persaudaraan semasa SMK dulu. Lagi-lagi, situasi tersebut membawa pikiranku kembali mrmikirkan SMA Muhammadiyah 1 Prambanan.  Aku mencoba menerka penyebabnya, karena aku merasa satu hari tersebut telah menyelesaikan semua tugas dengan baik. Tetapi satu hal yang sanggup kuingat, tentang keinginanku mengajak murid-muridku menerapkan waktu istirahat sebagai waktu ibadah, dan rencananya kelas XI IPA 1 yang ingin kuajak memulainya.

Tiba-tiba, notif group MOSHA yang berisikan guru dan karyawan muncul di layar handphoneku. Sekilas aku melihat dari Bapak Kepala Sekolah. Membaca pesan tersebut, aku langsung terdiam, batinku hanya berulang mengucapkan Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un. Ya, di dalam pesan tersebut tertulis jelas, bahwa Aditya Yoga Pratama telah diambil dari dunia oleh Sang Kholik lantaran kecelakaan. Seketika aku langsung memberi kabar ke Makruf, teman seangkatan Adit, yang aku tahu mereka sangat akrab, dan sering kali Makruf memasang foto profil Whatsapp bersama Adit. Hampir seluruh murid-murid yang kukabari tidak percaya, mereka kaget bukan main, karena di hari tersebut Adit begitu ceria. Aku pun kembali terdiam, menarik napas panjang, dan berucap dalam hati, "Allah, terima kasih atas kesempatan untukku mengenal muridku, Aditya. Semoga Engkau memamggilnya dalam khusnul khotimah, karena Aditya selesai menuntut ilmu."

"Malah melamun," sahut ibuku.
"Muridku, Aditya Yoga Pratama meninggal karena kecelakaan, rumahnya di Wukirharjo," jawabku dengan nada goyah dan menahan air mata.
"Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un," ucap kedua orangtuaku.
"Sebentar, Ibu tanya sama teman Ibu, siapa tahu kenal," lanjut Ibuku. Tetapi sebelum menanyakan, ada pesan masuk di Whatsapp yang menyatakan bahwa anak dari teman ibuku meninggal, dan ternyata Aditya muridku yang dimaksud. Seorang anak tunggal yang begitu taat dengan orangtuanya. Sungguh, ini seperti ujian berlipat bagi keluarga muridku.

Sementara aku, sebagai gurunya, seolah aku kehilangan anakku, meskipun hanya sebentar mengajar, dia pernah beberapa waktu tampak begitu memiliki hubungan yang dekat antara guru dan murid. Dan hari ini, dua hari selang kepergiannya, aku akan merangkumkan kisah dalam bentuk surat dan puisi untuk muridku, Aditya Yoga Pratama.


Surat untukmu, Aditya Yoga Pratama, yang sengaja ibu tuliskan. Agar jika ibu membaca, secara tidak langsunh ibu ingin selalu mendoakan kepergianmu, Nak.

Aditya, bagaimana kabarmu hari ini? Semoga kamu dapat menjawab semua pertanyaan Munkar dan Nakir di alam kubur. Kamu masih ingat kan yang pernah ibu ajarkan? Kamu harus menjawab Tuhanmu Allah, Nabimu Muhammad, Kitabmu al-Quran, Agamamu Islam, Temanmu Kaum Muslim, dan Musuhmu Syaithon. Ibu yakin, doa keluarga dan saudara-suadaramu, termasuk para pendidikmu akan memudahkan jalanmu di alam barzah.

Aditya, mengingatmu selalu mengingatkan ibu tentang masa awal-awal mengajar. Sering kali kamu tidak membawa lembar bacaan sholat. Dan saat itu kamu pernah dihukum sendirian, lalu kamu memgeluh lelah, dan ibu memberikan tempat duduk ibu untukmu, sedangkan ibu memilih berdiri. Kamu juga harus ingat, ibu pernah menyita handphonemu sekali, lalu kamu berucap, "Ibu Annis, aku tidak akan mengulangi lagi." Setelah itu, hari-hari berikutnya kamu menyimpan handphone di dalam ranselmu.

Tetapi Jumat lalu Aditya, kamu membawa lembar bacaan sholat, kamu membacanya dengan khusyuk, dan ibu sama sekali tidak menegurmu. Kamu begitu tenang dan baik dalam membaca, bahkan selama pelajaran pun kamu begitu fokus. Setiap ibu bertanya kamu menjawabnya dengan baik, sungguh ibu melihatmu begitu teduh saat itu. Kamu juga tiba-tiba ke depan dan menjabat tangan ibu saat pergantian pelajaran, padahal hal itu tidak biasa dilakukan olehmu. Kamu berikan senyum ikhlasmu, dan kamu ucapkan salam sekaligus terima kasih dengan fasih.

Ibu selalu ingat cita-citamu yang ingin menjadi prajurit negara. Hingga akhirnya pada hari Sabtu, 24 Februari 2018, Ibu sudah menganggapmu sebagai prajurot negara. Sebab di hari itu, kamu telah usah menjadi prajurit Allah dalam menjalankan hidup di dunia yang fana, yang harus diusaikan karena memang sudah saatnya kamu tidak dapat menghalau peluru kematian, dan kamu harus mempertanggungjawabkan keprajuritanmu di hadapan Allah.

Percayalah Nak, meski kamu di alam sana, banyak doa yang mengalir untukmu begitu kuat. Banyak kenangan yang orang-orang simpan saat bersamamu, termasuk Ibu. Sudah saatnya kamu khusyuk memeluk Allah setelah menuntaskan tugas-tugas prajuritmu. Kamu sudah tenang, anakku sayang. Kamu mengajarkan Ibu tentang mendidik dengan kesabaran, hingga ibu mampu memastikanmu tanpa kesalahan dalam pelajaran Ibu sebelum akhirnya kamu benar-benar melepas ikatan hidup di dunia.

Mosha, 26 Februari 2018, 09.11 WIB.

Setangkai Detik Terakhir

Langit gelap, Mikail hadir bersama Izrail
Dan medan perangmu usai pada mesin yang pasrah atas takdir
Sementara orang-orang lalu lalang bertanya pada sepi

Tubuhmu mulai renta, jalanan menghentikan denyutmu
Bangunan berpenghuni jas putih menyuarakanmu pada Kuasa-Nya
Isak tangis dan ngeri berhamburan

Matamu terpejam, Izrail kembali ke pelukan Tuhan
Usai tugasmu dalam sempurnanya juangmu
Langkahmu telah menuju barzah

Mosha, 26 Februari 2018, 09.42.

Selasa, 16 Januari 2018

Kontrak Belajar


Guru profesional adalah guru yang mampu mengajak muridnya mengikuti pembelajaran tanpa gelisah, menikmati pembelajaran tanpa membenci, dan menyudahi pembelajaran dengan harapan esok bertemu lagi dengan pembelajaran tersebut. 

Menurut prosesnya, menjadi guru profesional dimulai dari dalam hati si guru tersebut, hati yang harus diliputi dengan pemahaman bahwa pekerjaannya adalah ibadah, amanah dan rahmat. Akan tetapi, kenyataan yang hadir memang terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kemudian, guru harus membuat kontrak belajar, kesepakatan antara diriya dan diri murid-murid untuk menjadwalkan proses belajar mengajar ingin berlangsung seperti apa dan bagaimana konsekuensinya. Kontrak belajar inilah yang akan mengantarkan proses pembelajaran lebih terarah dan terkondisikan, sehingga tujuan pembelajaran dapat terbaca dari awal. Biasanya, kontrak belajar diberikan saat permulaan pembelajaran, dengan cara musyawarah dan hasilnya disepakati bersama antara guru dan murid.

Isi dari kontrak belajar sangat bermacam ragam, tetapi secara umum ada lima indikator yang harus tercantum dalam kontrak belajar, yaitu; (1) pokok bahasan yang akan dipelajari; (2) kalender KBM; (3) sistem penilaian; (4) aturan belajar di kelas dan konsekuensinya jika melanggar; dan (5) motivasi. Pokok bahasan berguna untuk memberi gambaran kepada peserta didik tentang materi pembelajaran yang akan berlangsung selama satu semester, harapannya peserta didik dapat mempelajari terlebih dahulu tanpa harus diminta oleh guru. Kalender KBM sebagai acuan berapa kali melakukan pembelajaran, ujian, dan hal-hal yang mampu menjadi jadwal kapan selesainya materi diajarkan. Sistem penilaian merupakan tata aturan seorang guru memberikan penilaian kepada muridnya atas pembelajaran yang telah dilaksanakan. Aturan belajar di kelas dibutuhkan untuk mengatur jalannya pembelajaran agar berjalan efektif dan efisien, sehingga jika terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam sistem aturan tersebut, baik guru atau pun murid dapat dikenai sanksi. Sementara motivasi merupakan kewajiban yang harus guru berikan untuk membentuk pikiran murid agar semangat belajar dan mengkondisikan hatinya untuk mencintai pembelajaran tersebut.

 Selain kontrak belajar, hal yang paling wajib dilakukan guru saat pertemuan pertama adalah membuat sesuatu yang berkesan bagi peserta didik untuk mengingatnya, dan menantikan kehadirannya untuk memberikan ilmu.

Sebelum saya mengakhiri tulisan singkat ini, saya akan mengutip beberapa bait dari puisi milik Kahlil Gibran tentang guru:

Barangsiapa mau menjadi guru,
biarkan dia memulai mengajar dirinya sendiri
sebelum mengajar orang lain,
dan biarkan dia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata.
Sebab mereka yang mengajar dirinya sendiri dengan membetulkan perbuatan-perbuatannya sendiri
lebih berhak atas penghormatan dan kemuliaan
daripada mereka yang hanya mengajar orang lain
dan membetulkan perbuatan-perbuatan orang lain.

Kamis, 04 Januari 2018

Abadku, Adabmu, Adab Kita

"Allah adalah sebaik-baik skenario yang menjadikan kita paham, bahwa tak ada jalan yang menyenangkan tanpa perjuangan."

Tepat hari Kamis, 4 Januari 2018, hari yang menurut saya masih tahun baru, dan saya merasakan nikmat tahun baru, yakni bekerja untuk ibadah, bekerja untuk amanah, dan bekerja sebagai rahmat. Hari ini saya resmi mengajar di salah satu SMA di daerah Prambanan, suatu pekerjaan yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, tetapi harus saya kerjakan dengan sebaik-baiknya mulai saat ini. Karena saya tidak bekerja untuk diri saya, saya bekerja untuk orang lain, saya bekerja untuk mempertanggungjawabkan bagaimana hasil kerja saya nantinya. Lebih dari itu, saya bekerja untuk menuntun orang lain menjadi pribadi yang lebih beradab di kemudian hari.

Suasana SMA sangatlah berbeda dengan suasana SMP, SD, maupun TK. SMA adalah tempat bagi pendidik menghadapi peserta didik yang tengah menuju dewasa, mencari jati dirinya, dan penuh dengan labil jiwanya. Benar-benar tak hanya sekadar mengajar, tetapi juga melakukan pendidikan karakter, mengajarkan hal-hal yang sanggup menjadi pegangan peserta didik setelah lulus SMA. Tentu dalam hal ini seorang pendidik menginginkan kelak peserta didiknya dapat berprestasi lebih tinggi, dan bekerja lebih layak. Namun, apakah semua peserta didik berlatar belakang sama, berkepribadian sama, serta mudah diarahkan? Jawabannya, tidak. Setiap manusia memiliki sisinya masing-masing, hanya saja semua manusia memiliki potensi menjadi baik, siapa pun itu.

Saya, yang hari ini mengajar kelas XI SMA, berjumpa dengan banyak karakter peserta didik. Perjumpaan ini telah memberikan banyak warna, dan tentunya kerinduan saya saat masa SMK. Banyaknya karakter yang harus saya pahami dari mereka, tidak dengan mudah saya rumuskan dalam sehari bagaimana sepatutnya saya mendidik mereka. Saya memerlukan beberapa langkah dan tindakan, dan saya harus merancangnya dari sekarang. Banyak yang berucap sekolah tempat saya mengajar adalah sekolah bengkel, tetapi bagi saya semua sekolah adalah bengkel. Lalu saya memulainya dengan memberikan nasihat-nasihat ringan, seperti menjaga sholat, mengaji, dan berbuat kebaikan. Tak jarang beberapa membuat gaduh suasana pembelajaran, dan saya harus menuntun lagi untuk kembali fokus.

Tiga jam proses mengajar yang saya lakukan hari ini, tampaknya tidaklah mudah. Bukan masalah topik mengajarnya, melainkan berlaku sebagai guru dan teman yang disegani. Kenapa teman yang disegani? Karena, jika hanya teman saja, yang ada peserta didik akan meremehkan. Sementara jika hanya guru saja, peserta didik hanya akan menjadi budak aturan. Pendidik memanglah harus menjadi guru dan teman bagi peseeta didiknya, teman yang disegani, teman yang siap mendengarkan keluh kesahnya, juga teman yang bisa menjadi orangtua, yaitu menjadi guru.

Terlepas dari hal di atas, pendidik adalah kumpulan dari adab yang ia miliki. Sedangkan peserta didik merupakan reinkarnasi dari adab si guru. Maksudnya, dari adab seorang pendidiklah, peserta didik mampu mencontoh. Tetapi jika pendidik sendiri belum mampu memperbaiki adabnya, menyuruh peserta didik tanpa mengerjakan apa yang disuruhnya, maka segala nasihat tentang adab yang diberikan ke peserta didik akan sia-sia. Sebab sesuatu yang menyentuh hati ialah yang datang dari kesucian hati itu sendiri.

Kemudian, sebelum saya mengakhiri tulisan pendek ini, saya ingin menekankan pada pembaca, bahwa setiap manusia memiliki potensi berbuat baik, sesuai apa yang telah saya tulis sebelumnya. Jadi, sebagai pendidik taruhlah kepercayaan bahwa peserta didikmu adalah anak angkatmu yang bisa kau ajarkan kebaikan. Jika sesekali mereka berbuat salah, carilah solusi, ajaklah untuk memahami kehidupan, dan ajarkanlah adab melalui hatimu. Kelak peserta didikmu mengerti, jalan mana yang akan mereka pilih di saat kita memperlakukannya seperti darah daging yang kita lahirkan dari rahim terhangat kita. Dan untuk kalian yang merasa peserta didik, kalian pasti merasa bahwa kalian suatu wajtu meninggalkan pendidik kalian. Tetapi pendidik kalian tetap berdiri tegak di tempat yang sama, mendidik anak yang lain, lalu ditinggalkan lagi. Hal ini sudah sangat biasa, dan pendidikmu tetap tersenyum, ia sadar bahwa tugasnya adalah mengantarkan peserta didiknya terbang dan melihat peserta didiknya lebih layak sukses darinya atau setidaknya setara dengannya.




Rabu, 03 Januari 2018

Tentang Ingatan

Berhentilah menuliskan kisah, sayang. Sebab kau telah memutuskan memangkasku dari pandangmu yang teduh. Ketika seseorang telah lebih pandai mengajarkanmu perihal mengubur kenang. Namun jalanmu seolah patah, lumpuh. 

Berhentilah menuliskan kisah, sayang. Aku sudah terlalu pandai mengabadikan segala getir yang kau sembahkan. Meski kamu selalu bicara seolah kamu yang mengirimkan hatiku dalam tenang. Dan aku hanya memilih diam, bisu segala kata dan buta melihat kesakitan.

Berhentilah menuliskan kisah, sayang. Dengarkanlah kataku baik-baik, rentetan kalimat yang tiba-tiba memanggil ingatanmu. Sebuah pasal yang tertulis rapi dalam memori paling gersang. Dengarkan, aku tak akan mengulangi kedua kali, meski kau terus memintaku. 

Pasal pertama, tentang aku. Tak ada yang mustahil bagi diri menjelma senja. Gugusan jingga, memerah, memenjarakan layu. Jika kelak aku diajarkan senja menjadi melati yang terjaga, jingganya yang mengajarkanmu untuk meratapi masa. Seperti daun yang tergugur, namun sebenarnya harus digugurkan dan berlalu. 

Pasal kedua, tentang kamu. Manusia malam peraba sepi yang luka. Tidakkah geram debarku melihat angkuhmu? Sementara dunia menggelarkan jutaan manusia dengan segala macam rasa. 

Pasal ketiga, tentang kita. Mari usaikan. Lupakan untuk bertanya mengapa. Sebab senja adalah perjalanan, lalu kemudian ia tersadarkan. Malam mana yang sanggup memanggil istirahatnya dengan irama. Dan puisi-puisi telah menunggu dimusikalisasikan.

Sekali lagi, berhentilah menuliskan kisah, sayang. Aku telah berkelana, menanggalkan masaku dan masamu. 

Senin, 01 Januari 2018

Buku dan Ruh yang Berdiam pada Buku

Ketika aku mendengar kata buku, aku mulai memahami arti menahan nafsu keuangan. Sebab perempuan begitu mudah dilumuri hal-hal baru yang mencengangkan. Kecuali mereka yang ingin hidup dalam lukisan peradaban. Lukisan yang sengaja ia bangun di taman halaman. Bertemu rekan-rekannya yang lebih dulu bersenda gurau dengan awal keberhasilan. 

Buku telah mengajarkan banyak huruf, kata, dan kalimat. Ia adalah bahasa yang terlipat tinta emas dari orang-orang yang mengabarkan kenangan teramat. Ada pula yang mengabarkan sejarah, peristiwa tentang tumbuhnya pemahaman di setiap cerita yang terdengar dari sudut-sudut terlambat. 

Tak jarang orang-orang berjalan beriringan, kemudian buta pada lembaran-lembaran putih yang mulai kotor dengan suci. Tetapi orang-orang memilih menatap dan berlalu pergi. Sementara mereka para pelukis peradaban, berbondong-dondong dalam kepasrahan yang mati. Sebab kami adalah manusia pengais perjalanan abadi. 

Kehadiran buku lahir dari rahim-rahim berbeda. Rahim prematur, rahim normal, rahim terlambat,  bahkan rahim yang kehangatannya biasa. Kemudian pelukis peradaban paling mujur diperkenankan untuk memilih, untuk bercengkerama dengan ruh-ruh yang menentukan arahnya. Suatu jalan yang membawanya pada dunia atau petaka. Peristiwa yang mengajaknya hanya menjadi pembaca tanpa memahami kata.